Selamat Hari Karantini, Para Perempuan Kartini Indonesia!

Gambar dari Google

Ups, judulnya salah ya? Harusnya Kartini kan, ya?
Tapi gimana dong, hari Kartini kali ini bertepatan dengan karantina hari kesekian kita karena pandemi Covid-19--serta self quarantine perempuan Indonesia yang benar-benar mengarantina dirinya sendiri.

Jangan dulu melangkah terlalu jauh ke problema pendidikan! Diam saja sebentar lalu mencoba untuk berhenti melecehkan diri sendiri dengan persepsi-persepsi buruk, seperti:

"Aku gacantik."
"Kulitku gelap."
"Bibirku hitam"
"Hidungku tidak mancung."
"Wajahku tidak tirus."
"Pipi dan perut isinya lemak semua."
"Aku pendek."
"Aku gendut."

Mari melangkah ke depan cermin dahulu! Bersama-sama. Coba perhatikan dengan saksama lagi dirimu sendiri! Setiap perempuan cantik dengan versinya masing-masing. Cantik terbatas fisik? Ga! BIG NO! Kita selalu jauh lebih berharga daripada sekadar penilaian fisik. Kita punya inner beauty, punya inner skill yang bisa terus kita asah. Jadi, maukah bersama-sama menjadi lebih percaya diri? Menjadi lebih tak acuh tentang stereotipe cantik menurut "orang-orang awam".

Ahiya, kadang memang bukan stereotip orang-orang yang membunuh rasa percaya diri kita, melainkan diri kita sendiri. Kita saja yang merasa begitu rendah diri, membanding-bandingkan diri kita dengan perempuan lain--yang padahal kita tidak tahu kelemahan apa saja yang ia sembunyikan di baliknya. Tuhan selalu adil membagi rata. Porsi kelebihan yang tidak kita dapatkan, dimiliki orang lain. Porsi kelebihan yang kita miliki, justru tidak dimiliki orang lain. Bersepakat lagi, ya? Mari bercermin lagi, menemukan kelebihan diri kita yang belum sepenuhnya kita pancarkan. Sekali lagi, aku ingin mengatakan satu kalimat seru yang sangat lumrah, tetapi luar biasa kusukai--"Kita cantik dengan versi kita sendiri!"

Setelah mencintai diri sendiri, kupikir kita baru boleh berpikir untuk berjuang atas diri orang banyak. Bukankah akan terlalu munafik menggembor-gemborkan feminisme sementara kita saja masih belum mencintai diri kita sendiri sebagai perempuan?

Baiklah, mari melangkah menuju stereotip dan celotehan yang mengobjektivikasi perempua yang paling lumrah dan luar biasa menyakitkan.

Pertama, seperti yang dinyatakan Tong (2004) bahwa masyarakat patriarkial ini terlalu kaku dan memaksa untuk memastikan perempuan tetap pasif (penuh kasih sayang, penurut, regresif, tanggap terhadap simpati dan persetujuan, ceria, baik, dan ramah) dan laki-laki tetap aktif (kuat, agresif, penuh rasa ingin tahu, ambisius, penuh rencana, bertanggung jawab, dan kompetitif). Budaya patriarkial ini sungguh memformulasikan bahwa laki-laki atas perempuan, perempuan hanya subordinasi laki-laki, perempuan untuk laki-laki. Bisa terbayang fenomena yang terjadi di sekitar kita, bukan?

Kedua, perempuan pada akhirnya harus menikah dan punya anak, jadi untuk apa kuliah tinggi-tinggi? Stigma kedua ini, sepertinya sangat berkaitan dengan realitas bom pertanyaan bertubi-tubi ketika bertemu kerabat atau kenalan.

"Kapan nikah?"
"Kapan rencana punya anak?"
"Kapan punya anak?"
"Kapan punya anak kedua?"
"Jangan menunda untuk menikah terlalu lama, nanti jadi perawan tua!"

Hiliih, maleess! Stigma negatif ini memaksa perempuan sepakat tidak perlu berpendidikan tinggi dan pasrah atas kodratnya sebagai perempuan (yang sebenarnya hanya dibuat-buat masyarakat). Seolah sudah terpatok kapan dan bagaimana perempuan harus menjadi ibu dan menjalankan fungsi sebagai ibu. Seolah perempuan tidak punya kendali atas dirinya sendiri.

Ketiga, masih terkait dengan stigma kedua. Perempuan tidak perlu mengejar pendidikan tinggi. Halah, kan sebelumnya sudah dipatok kalau perempuan harus menjadi ibu kelak. Itu serta-merta menjadikan perempuan sebagai madrasah pertama dan utama bagi anak-anaknya. Masih kuingat jelas dosenku semasa kuliah S1 pernah berkata seperti ini,

"Kalaupun pada akhirnya nanti kalian tidak bisa bekerja, paling tidak ibu yang seorang sarjana akan memiliki pola asuh yang berbeda. Ibu yang seorang sarjana tentu memiliki kualitas lebih baik sebagai pendidik pertama bagi anak-anaknya."

Sebagai seorang perempuan, saya ingin berpendidikan tinggi untuk memotivasi dan merangkul anak-anak saya kelak, bahwa tidak apa-apa untuk bercita-cita setinggi apapun, bahwa cita-cita setinggi apapun bukan merupakan hal mustahil untuk digapai.

Yuk memulai dari diri sendiri! Menyadari bahwa kita bukannya tidak cantik--karena pada dasarnya semua perempuan itu cantik. Kita hanya tidak menyadari keberadaan kecantikan alami dan inner skill luar biasa yang masih belum kita pancarkan secara maksimal. Tubuh kita adalah otoritas kita, tidak satu pun stigma yang berhak melabeli. Mulailah mendobrak bahwa perilaku kita tidak harus sesuai dengan apa yang sudah diterima oleh masyarakat. Mari bersama-sama menunjukkan bahwa kita sama hebatnya, batasan gender sama sekali tidak berhak mendiskriminasi hingga menciutkan kemampuan dan bakat kita!

Posting Komentar

0 Komentar