Meninjau Ulang Alasan Melanjutkan Studi


Foto dari Google

Perihal menilai alasan seseorang melanjutkan studi, ada banyak hipotesis dan stereotip tidak menyenangkan dari ratusan bibir di luar sana.

"Ah, paling karena mau nambah gelar aja!"
"Mau pamer aja kali."
"Pasti mau nambah-nambahin 'uang panaik'-nya aja"
"Bagusnya nikah dulu baru kuliah lagi. Soalnya nanti laki-laki jadi takut mendekat."

Bahkan stereotip yang lebih parah dan menyakitkan lagi yang harus diterima kaum perempuan adalah

"Perempuan tidak perlu pendidikan tinggi. Toh, jatuhnya ke dapur juga."

Demi apa pun, saya butuh jawaban untuk mematahkan stereotip yang terlalu konvensional itu. Perempuan bisa memasak. Perempuan bisa bekerja. Perempuan bisa mengemban peran sebagai istri dan ibu yang baik. Perempuan sungguh multitalenta. Mengapa masih underestimate pada kemampuan yang dimiliki perempuan? Dan sekali lagi, ada yang lebih menohok; sesama perempuanlah pelakunya.

Saya tiba-tiba teringat kata-kata luar biasa dari Mbak Nana (Najwa Shihab) dalam sebuah acara ragam di televisi yang acaranya dibawakan oleh Denny Cagur, seorang komedian. Kutipan luar biasa yang dilontarkan oleh perempuan luar biasa itu berbunyi:

"Kenapa sih perempuan harus disuruh memilih? Bukankah kita bisa mendapatkan keduanya? Pertanyaan itu sejak awal sudah menempatkan posisi perempuan seolah-olah tak berdaya.
Karena setiap perempuan itu multiperan, saya bisa menjadi ibu, menjadi istri, menjadi tetangga, menjadi jurnalis, perempuan itu multiperan. Semua perempuan bisa melakukan banyak hal. Kalau laki-laki tidak pernah tuh ditanya, mau jadi pelawak atau jadi ayah dua-duanya bisakan?"

Seorang istri dan/atau ibu yang bahkan tingkat pendidikannya lebih tinggi dengan dari suami bagi saya tidak masalah. Asal keduanya saling berpikiran terbuka. Lagipula, ideologi dan kecerdasan berpikir tolok ukurnya tidak berlandas pada gelar.

Kembali kepada alasan saya melanjutkan studi, meski tahu bahwa akan banyak bibir yang akan mencibir. Mama saya bilang, saya pandai di bidang studi yang saya pilih. Tentu saja, dia berkata seperti itu karena dia adalah mama saya. Seorang anak mau sekurang pandai apa pun, akan selalu hadir satu-satunya orang yang akan membelanya; yaitu ibunya.

Mama saya mendukung keinginan saya, bahkan mengatakan bahwa jika saja kelak ada rejeki yang berlebih, ia akan membantu untuk biaya pendidikan yang lebih tinggi lagi. Tentu saja kutolak untuk sementara waktu. Entah nanti. Lagipula, berkuliah itu melelahkan; jiwa dan raga. Waktu, tenaga, dan biaya adalah senyata-nyatanya pengorbanan tak terelakkan di dalamnya.

Alasan kedua, saya adalah tipe orang yang tidak akan menggali ilmu hingga ke dasarnya jika tidak dipelajari secara formal. Ya, meskipun saya suka sekali membaca, tetapi jiwa membaca saya masih cukup dangkal.

Maka, jawaban satu-satunya adalah berkuliah lagi. Oleh karena itu, saya berharap tinggi agar stereotip-stereotip yang mendiskriminiasi perempuan dalam hal taraf pendidikan setidaknya bisa diminimalisasi.

Beberapa orang meski berpendidikan tinggi, tidak merasa harus berpasangan dengan seseorang dengan tingkat pendidikan sederajat; saya salah satunya.
Beberapa orang melanjutkan pendidikannya bukan untuk pamer dan segala macam hipotesis bernilai negatif lainnya; saya salah satunya.
Beberapa orang suka belajar karena kesadarannya akan minim pengetahuan yang dimiliki; saya salah satunya.

Semua perempuan adalah manusia multitalenta. Mereka bisa menjadi anak dari sepasang orang tua. Bisa menjadi istri dari seorang suami. Bisa menjadi menantu bagi sepasang mertua. Menjadi ibu dari seorang (atau lebih) anak. Bisa menjadi wanita karir bagi negara dan/atau sebuah perusahaan. Bisa menjadi teman bagi seseorang (atau lebih). Dan bagian paling penting, seorang perempuan bisa menjadi diri yang dia inginkan dan impikan bagi kebahagiaannya sendiri.

Posting Komentar

0 Komentar