Menangis adalah Keberanian

Katanya, segala hal di dunia ini butuh keberanian. 
Termasuk memulai hal baru. Termasuk mengakhiri hal lama. Termasuk memutuskan membersamai seseorang. Termasuk memutuskan melepas seseorang. Termasuk menyendiri. Termasuk bercengkerama dengan orang-orang. Termasuk bercerita kepada seseorang. Termasuk menyembunyikan cerita dari seseorang. Termasuk melempar senyum kepada orang-orang. Termasuk memasang raut muram di depan orang-orang. Dan termasuk menangis. Entah sendirian. Entah bersama seseorang. 

Seseorang lebih bernyali tersenyum daripada terlihat muram. Ia lebih suka memasang topeng baik-baik saja. Barangkali, ia tak berani menyalahi orang-orang yang menaruh harap agar ia selalu bahagia. Barangkali, ia tak berani mengecewakan kalimat penyemangat yang dilontarkan oleh satu demi satu orang padanya. Barangkali, ia tak berani jika dianggap sebagai orang yang lemah.

Maka ia tersenyum. Maka ia tertawa. Maka ia menghabiskan waktu bersama orang-orang. Maka ia mencoba membuka pintunya bagi yang mengetuk baik-baik. Maka ia bercerita hingga menjabarkan satu demi satu cerita jenaka yang dapat membuatnya dan orang yang mendengarnya tertawa. Maka ia melempar senyum kepada siapa saja yang ia dapati tatap matanya.

Sebab ternyata, semua hal yang ia lakukan itu lebih menggelitik nyalinya. Ia berani terlihat baik-baik saja. Ia lebih berani memasang "topeng baik-baik saja"-nya dengan erat. 

Sebab ternyata, ia tidak berani melakukan satu hal yang seharusnya sudah sejak lama ia lakukan. Ia tidak berani menyuarakan tangisnya meski sedang sendiri. Ia tidak berani membasahi lembaran-lembaran tisu yang sudah sejak lama ia siapkan di samping bantalnya. Ia tidak berani.

Ia lebih berani merajut satu demi satu benang sulam tangisnya menjadi satu demi satu garis senyum. Meski pada akhirnya, ia tidak tahu cara mengaitkan simpulannya. Meski pada akhirnya, ia tahu perasaannya akan lepas kendali. Sebab sungguh, baginya, menangis jauh-jauh-jauh lebih membutuhkan keberanian. 

Posting Komentar

0 Komentar