Sungguh, Aku Tak Apa-apa

Kali ini, badai datang terlalu kencang. Ia mematikan seluruh arus listrik, termasuk pencahayaan di rumahku. Aku mencari lilin ke mana-mana. Namun, ini terlalu gulita. Mataku tak menangkap cahaya apa pun. 

Beberapa waktu kemudian, atap rumahku runtuh. Beberapa kepingnya menimpaku. Tubuhku dipenuhi lebam karenanya. Kurasa aku masih bisa berdiri. Iya, sejauh ini, aku masih bisa berdiri. Namun, ketika kuseret kakiku, aku kesakitan. Ketika kuayunkan lenganku, aku nyeri dan ngilu. Lebam dan tidak berdarah. Lukaku ternyata lebih suka berpetak umpat di balik kulitku. 

Kini, cahaya lampu sudah memenuhi ruangan. Aku lekas menuju ruangan tempat aku bisa memoles lukaku hingga senada dengan warna kulitku. Bibirku kupoles secerah mungkin. Mataku sebisa mungkin kutarik hingga garis-garis halus di sudut mata membentuk satu raut senyum. 

Tak apa. Tak apa-apa. Rumah yang kuanggap duniaku barangkali sedang runtuh. Tak apa-apa. Sungguh. Aku masih bisa lebih tak apa-apa daripada ini. Sungguh, aku tak apa-apa.

Posting Komentar

0 Komentar