Kau Akan Sakit Jika Menahannya


Ma, kurasa ini lebih sulit dari yang kuduga. Aku menguatkan diri. Setidaknya sebanyak yang kubisa di depan orang-orang. Namun, semuanya berantakan. 

Hari ini, Ma. Tubuhku seluruhnya menghasilkan panas lebih tinggi dari yang sebelumnya. Coba mama tebak, kapan terakhir kali aku kesakitan seperti ini? Iya, Ma. Tepat. Saat Bapak juga menunaikan panggilan-Nya. Saat Bapak dengan kalimat terakhirnya saat bersamaku membuatku selalu menangisinya. Bagaimana Bapak di sana, Ma? Apakah masih sering mengganggu mama dengan gemas melalui tingkah dan tuturnya, Ma? 

Ma, seluruh napasku kepanasan. Mataku kepanasan. Hidungku kepanasan. Organ mulutku kepanasan. Kurasa, Ma, aku terlalu banyak memendamnya di dalam sana. Air mataku sama panasnya. Rasanya hampir mendidih di sudut mataku. Bersama dengan itu, kepalaku ngilu. Badanku juga sama ngilunya. Sepertinya mereka sedikit lagi terlepas dari engsel dan sendi-sendinya. 

Kurasa memang benar, Ma, sesuatu yang dipendam akan mendatangkan penyakit. Kini, Ma, hatiku sangat sesak. Aku mengentak dadaku dengan kepalan tangan berpuluh kali. Menghapus didihan air mataku ratusan kali. Namun, tak semua sesak bisa mengeluarkan dirinya. 

Ma, bagaimana mungkin aku bisa terbiasa? Tiba-tiba aku tidak bisa melihat mama di mana-mana. Suara mama  tak kudengar di mana-mana. Aku tak bisa memeluk mama setiap kali aku merasa gemas dengan tubuh mini mama. Aku tak bisa membelai pipi mama yang sangat menggemaskan dan jauh tak sekeriput orang-orang seusia mama. Ini asing. Demi apapun, aku kesulitan membiasakan diri. 

Ma, baik-baik di sana. Aku sedang mengupayakannya. Berat dan kurasa akan lama. Aku akan pelan-pelan melakukannya. Aku akan menangis setiap kali tangki berisi air mata di dadaku meluap. Namun, Ma, kujanjikan aku akan baik-baik saja. Tentu saja, itu semua demi mama.

Posting Komentar

0 Komentar