Terdampar di Hatimu




Tok..tok..tok?
Permisi, aku sudah melakukan perjalanan cukup jauh. Aku menyusup melalui pori kulitmu yang terbuka, lalu terhempas pada nadimu. Aliran darahmu melesatkan aku menuju jantungmu. Kupikir itu perjalanan terakhirku. Namun, ternyata detak jantungmu menghentak-hentakku hingga terpental ke tempat lain.

Kini, aku berada di paru-parumu. Udara yang kau hirup dan hembuskan perlahan membuatku terbang dan terjatuh berulang kali. Tunggu, mengapa kau tiba-tiba menghembuskan napas sangat keras? Aih, tidaaak. Aku terdampar lagi di suatu tempat. Ini lebih ramai dari tempat-tempat sebelumnya.

Ada banyak ruangan di sini. Beberapa pintunya diberi nama. Nama-nama yang feminin dan sudah begitu usang. Masa bodoh, aku tahu itu adalah nama-nama mantan kekasihmu dan aku tidak peduli. Aku berjalan lagi, jauh ke belakang melewati pintu-pintu kusam itu. Eureka! Aku menemukan namaku. Tunggu! Mengapa masih ada satu...dua...tiga...empat pintu lagi setelah pintu bertuliskan namaku. Keempatnya tanpa nama. Mereka sama bercahanya, meski lebih terang pintuku.

Aku mencoba memutar gagang pintu. Sial! Itu terkunci dan membutuhkan kata sandi. Kucoba tanggal lahirmu. Tetap terkunci. Kucoba tanggal lahirku. Tetap terkunci. Kucoba tanggal saat kita memutuskan bersama. Tetap terkunci. Kucoba tanggal saat hari pertama kita bertemu. Tadaaa! Itu terbuka. Aku tersenyum. 

Apa ini? Aku tidak bisa berhenti tersenyum. Foto kita terpanjang begitu banyak. Sejak pertama kita bertemu, hingga tiap-tiap kejadian yang cukup penting untuk terus dikenang. Setiap foto yang dipajang selalu didampingi sebuah catatan kecil. Aku berhenti pada satu pola catatan yang sama. Itu berwarna abu-abu kelam. Setiap kali aku selesai membaca catatan yang berwarna sama, satu senyumku diturunkan 1 milimeter tanpa sadar. 

"Hari ini, kami berbahagia. Namun, satu keinginan untuk berpisah menancap tajam hingga menimbulkan satu kebocoran kecil pada kebahagiaan itu." 

Tulisan itu, terpasang berkali-kali. Aku terus berjalan. Kurasa kakiku menjadi lebih gemetar lagi. Aku melihat sebuah catatan kecil pada foto paling ujung. Warnanya lebih gelap. Tidak. Itu sangat gelap. Aku berkeringat. Seperti biasa, tanganku juga turut kuyup. Aku ketakutan. 

"Aku sudah mengumpulkan keberanian. Aku harus mengatakannya hari ini." 

Sial! Lagi-lagi sial! Tanggal yang tertera adalah hari ini. "Hari ini" yang kamu maksud adalah hari ini. Aku tidak ingin keluar dari sini. Mataku juga sudah turut berkeringat. Apa ini? Kukira kita bahagia? Mengapa ternyata hanya aku yang berbahagia? Mengapa aku tidak menyadari ketidakbahagiaanmu? Mengapa aku menjadi tampak egois dengan kebersamaan kita? Bagaimana bisa kuakhiri jika kurasa kita selalu baik-baik saja dan saling membalas tawa selama ini? Apa semua ini? 

Baik, aku akan keluar dari sini dan mencari jawabannya. Tidak dengan praduga-pradugaku yang lebih pasti keliru. Aku sedang di hatimu, tetapi yang kubutuhkan adalah penjelasan dan jawaban. Aku perlahan berjalan menuju pintu. Ceklek. Aku sudah di depan pintuku. Kututup rapat kembali pintu bertuliskan namaku. Lagi-lagi, apa ini? Pintuku perlahan mengusam. Pintu di sebelahku menjadi lebih terang. Aku menggigil. Kepala, hatiku, tubuhku sudah tahu jawabannya. 

Kini, aku tidak perlu penjelasan. 
Aku hanya perlu keluar dari sini.
Secepatnya!

Posting Komentar

0 Komentar