Terima Kasih Telah Hidup dan Tumbuh dengan Baik


Gambar dari Pinterest


Jauh. Jauh sekali rentang jarak pertemuan kali terakhir dengan hari ini. Membuatku lupa beberapa hal, lalu kembali diingatkan olehmu hari ini. Meski debarku tidak lagi sememalukan dulu, ia masih ada. Masih tetap dengan upaya mati-matianku agar tidak membuatnya kentara.

Menarik sekali rasanya menyelami bagaimana waktu bekerja. Ia menjadikan beberapa hal berbeda. Termasuk debar dadaku. Termasuk senyummu. Termasuk isi kepalamu. Termasuk sikapmu. 

Entah mengapa, senyummu terlihat berbeda. Terlihat lebih santai. Lagi-lagi waktu berperan menjadikan yang sempat "lebih dari biasa" menjadi "biasa saja". Dulu, sempat kuhitung hikmat berapa detik senyummu bertahan dengan mata yang menyipit. 

Satu...dua...tiga...em...

Iya, kau tersenyum hampir selama empat detik. Kali ini, kurasa ia tidak bertahan lama. Aku tidak sempat mengeja angka dua. Tak apa, kusalahkan saja waktu yang tak pernah menyempatkan pertemuan kita. 

Tiba-tiba aku teringat ketika kita sedang melakukan panggilan telepon saat aku kerap hening sejenak. Bukankah aku juga hening hingga detik keempat hitunganmu? Tiba-tiba lagi, aku penasaran. Kiranya apa yang mengikat angka empat di antara kita.

Isi kepalamu kian menarik. Aku ingin memilikinya. Aku ingin mendengar semua yang ada di sana. Termasuk banyak hal yang belum kuketahui, termasuk banyak hal yang sudah kuketahui, tetapi ingin kugiring menjadi percakapan panjang bersamamu. Menyenangkan, bukan? Tentu saja menyenangkan, sebab di kepalaku, aku membumbuinya dengan kepalaku yang bersandar di bahumu serta tangan kananku dan tangan kirimu yang jari-jarinya saling mengisi sela.

Kau juga semakin dewasa. Pemikiranmu semakin matang. Lagi-lagi, aku takjub atas kekuatan waktu. Ia menjadikan usia mampu membentuk pola pikir. Rasanya bangga sekaligus menyenangkan mendengarkan seintip rencana hidupmu di masa depan. Ah, ciptaan Tuhan yang ini, entah mengapa aku sulit membencinya, batinku bisik-bisik.

Bagian lain yang kupotret lamat-lamat adalah sikapmu. Kupikir, ada dua hal yang bertahan dari badai waktu yang mencoba mengikismu; ialah keras kepala dan caramu mendiamkan diri atas kekesalan. Kaumasih saja keras kepala, tetapi entah mengapa aku merasa lega. Itu berarti, kau masih seseorang yang kukenal itu; Si Keras Kepala yang enggan dikalahkan argumen lain. Si Keras Kepala yang hanya meyakini apa yang ia yakini. Si Keras Kepala yang terlihat menarik saat sibuk berceloteh mengajukan argumen dengan begitu provokatif atas apa yang ia yakini. Si Keras Kepala yang entah mengapa sebuah kekeraskepalaan itu kusukai porsinya sebab takarannya yang tidak lewah di bagian anti klimaks.

Kini, mengamatimu bersisa satu bagian. Kau dan silent treatment. Sepertinya sepaket yang sulit kubiasakan. Saat merasa kesal akan sesuatu, kau diam. Sibuk melakukan apa pun selain berbicara denganku---atau memperhatikanku. Lalu, aku lagi-lagi sibuk mengira-ngira letak salahku. Sepertinya, aku tidak suka diperlakukan diam. Aku lebih suka berbicara, berdebat, bertengkar, lalu akhirnya menyudahi kesalahpahaman. Sebab semakin seseorang mendiamiku, aku menjadi lebih diam. Takut mengucap kalimat yang tidak tepat. Takut memperkeruh keadaan. Takut diam seseor... Ah, berhenti! Aku jadi membicarakan diriku sendiri.

Bertemumu hari ini tentu saja membuatku bersyukur banyak. Rentang waktu dua pertemuan terakhir kita cukup jauh dan waktu mengelolanya dengan baik. Kau dan waktu rasanya ingin kutepuk pelan:
"Kerja bagus! Kau melakukannya dengan baik. Kau hidup dan dengan baik. Terima kasih!".

Posting Komentar

0 Komentar