Lelaki Yang Menjahit Mulutnya dan Perempuan Perantai Tanya


Bagaimana mungkin lelaki yang menjahit mulutnya sendiri bisa hidup berdampingan dengan perempuan perantai tanya?

Di kepalanya, ada banyak sekali pertanyaan yang tersusun. Satu persatu ia pikirkan, lalu dipilahnya lagi yang terbaik. Ia menyusunnya mulai dari pertanyaan paling mendasar hingga yang paling sulit untuk ia utarakan. Sang Perempuan. Iya, Sang Perempuan adalah perempuan yang tak henti melontarkan tanya-tanya yang ia susun dengan apik itu.

Ia pernah memulai dengan pertanyaan:
"Mengapa kau menjahit mulutmu?"
Sang Lelaki masih tak bergeming. Ia menanyainya lagi.
"Apakah aku boleh berada di sini?"
Sang Lelaki masih saja diam. Lagi, Sang Perempuan menanyainya.
"Bolehkah aku terus mencintaimu saja?"
Masih diam. Tak ada respons. Entah anggukan, entah gelengan, entah suara yang tenggelam di bawah langit-langit mulutnya.

Esoknya, Sang Perempuan datang lagi mengamati Sang Lelaki. Jahitan itu rapi. Sangat rapi. Duganya, Sang Lelaki terus-menerus merapikannya. Hari demi hari, jahitan itu menebal, tak ada celah untuk udara masuk, sekali pun untuk darah-darah basah dan kering dari kulit bibirnya yang berlubang bekas tusukan jarum jahitan.

Sang Perempuan adalah satu-satunya manusia di muka bumi yang paling tak suka menganggurkan rasa penasarannya. Ia ingin mengetahui segalanya. Baginya, sayang sekali jika pertanyaannya menguap begitu saja. Ia lalu meruntun banyak tanya hari ini.
"Apa kau mencint... ah, tidak. Biar kuganti. Apakah kau ingin membuka jahitan itu?
"Apakah boleh jika aku membantumu membukanya?"
Sang Perempuan menatap Sang Lelaki, tetapi masih saja ia tidak bergerak sesenti pun dari posisinya semula.
"Itu tidak akan lama, hanya saja, akan perih di sekujur bibirmu. Mungkin saja, setelah kubuka, rasa sakitnya lebih parah daripada saat terjahit seperti itu."
Sang Perempuan berusaha menyakinkannya dengan melanjutkan ucapannya.
"Bukankah lebih baik menderita sehari, meledakkan semuanya sekaligus untuk akhirnya menatanya secara permanen?"
Sang Lelaki keras kepala. Ia tetap beku. Namun, tak disangka, Sang Perempuan menangis. Ia memukul-mukul dadanya, sesak di dalam sana sudah tidak mampu ia bendung dengan tanya atau kepura-puraan tersenyum.

"Apakah tak ada lagi kesempatan untukku mendengar suaramu?"
"Apakah tak ada lagi kesempatan bagiku untuk bisa memperbaiki?"
"Apakah jika aku pergi, kau...."
Tiba-tiba Sang Lelaki mengangkat tangannya, telunjuknya menunjuk pintu. Bola matanya turut mengisyaratkan permintaan agar Sang Perempuan pergi saja. Sang Perempuan menatapnya, menggeleng dengan mata yang basah. Namun, Sang Lelaki mengisyaratkan melalui telunjuk dan matanya sekali lagi.

Sang Perempuan beranjak, sepasang kakinya dengan berat ia langkahkan menuju pintu. Ia memegang daun pintu menariknya hampir rapat lalu bersembunyi di balik dinding sebelah pintu. Ia menangis sejadi-jadinya, merasa ini sudah berakhir. Padahal masih banyak yang ingin ia katakan juga tanyakan kepada Sang Lelaki. Ia berbisik merapal tanyanya satu per satu sambil mengintip Sang Lelaki melalui celah pintu yang tidak rapat.
"Apakah ini sudah berakhir?"
"Apakah aku sudah harus berhenti mendatanginya? Tetapi ia kesakitan, matanya berkaca-kaca menahan lukanya. Aku sangat ingin di sana menemaninya."
"Ia melepas jahitan mulutnya, tepat setelah punggungku sudah tidak dilihatnya lagi."
"Bolehkah aku benar-benar pergi seperti ini?"
"Bolehkah aku pergi setelah ia sengaja menyiksa diri karenaku?"
"Bagaimana jika ia tak sanggup melaluinya sendiri?"
"Bagaimana jika setelah semua jahitan itu terlepas,  ia menangis? Siapa yang akan di sana bersamanya?"
"Apakah kepergianku membuatnya lega?"
"Apakah sia-sia saja kususun kata "selamanya" berdampingan dengan namanya dalam satu baris tulisan di kepala dan hati?"

Lalu, pertanyaan yang paling membuatnya terisak adalah:
"Apakah aku pantas berbahagia setelah membuatnya terluka hingga seburuk itu?"

Posting Komentar

1 Komentar

  1. Akhir yang menyakitkan...
    Bukankah pertanyaan diciptakan berpasangan dengan jawaban?

    BalasHapus