Sebuah Surat dari Perempuan yang Gagal Menjadi Putri Menanti Ibu

Sumber: Pinterest

Selamat malam, Tante. Atau bolehkah kupanggil Ibu saja? Sepertinya lebih tepat dan lebih seperti biasanya, Bu.

Aku tahu Ibu tidak akan membaca ini, tetapi entah mengapa aku ingin sekali menuliskannya. Kuduga, anak Ibu yang akan membaca ini. Dan entah mengapa aku merasa was-was, semoga ia tidak membaca tulisan ini di depan Ibu. Meski bodohnya aku sebenarnya menulis ini untuk Ibu.

Apa Ibu tahu bahwa anak Ibu dan aku pernah cukup dekat? Cukup dekat hingga hampir menjadikanku bagian dari keluarga Ibu. Iya, Bu. Aku sengaja memiringkan kata "hampir". Dan ternyata, hampir itu agak menyedihkan, ya, Bu?

Pertama-tama, aku ingin mengucapkan terima kasih, Bu. Terima kasih karena telah luar biasa menahan sakit melahirkan lelaki itu--maksudku anak Ibu itu ke dunia ini. Dunia mengenalkannya padaku, membuat hampir seperdua usiaku diliputi bahagia dengan keberadaannya.

Selanjutnya, aku ingin kembali berterima kasih atas kehangatan dan lengan yang terbuka lebar untuk memperlakukan dan menerimaku dengan baik selama ini. Terima kasih karena selalu menyambutku dengan baik atas segala keadaanku yang bahkan tidak pernah mampu kubayangkannya sendiri.

Aku suka saat Ibu mencari-cariku saat berkunjung ke rumah--dengan suara yang entah mengapa rasanya terdengar sengaja dilantangkan agar aku mendengarnya.
Aku suka saat tanganku tak berhenti Ibu genggam dengan erat. Aku suka saat Ibu menepuk jok kursi agar aku duduk bersebelahan dengan Ibu.

Ada banyak sekali hal yang kusukai dari Ibu. Termasuk hal yang paling sulit kulupakan adalah ketika Ibu memelukku saat foto bersama pada momen kelulusan anak Ibu itu. Aku sebenarnya agak terkejut, namun kutahan demi sebuah hasil foto yang bagus, Bu. Namun, terima kasih telah memelukku hari itu, Bu. Pelukan Ibu sehangat dan senyaman pelukan Mama.

Aku tahu perlakuan baik Ibu mungkin sama saat memperlakukan orang lain juga. Sebab Ibu adalah orang baik. Tetapi, Bu, mau diperlakukan sama baik atau tidak, kurasa aku memang sudah telanjur menyukai Ibu.

Bu, lelaki itu selalu memuji masakan Ibu di depanku. Katanya, masakan Ibu yang paling enak di dunia. Katanya, ia bahkan tidak bisa makan tanpa sambal buatan Ibu. Bahkan, ia pernah menuntutku untuk harus berguru resepnya pada Ibu--hanya jika kelak kami berjodoh.

Lelaki itu sangat menyayangi Ibu. Saat bertemu (bersama teman-teman) ia selalu siap siaga dengan ponselnya. Berjaga-jaga jika Ibu ingin meminta diantar ke luar rumah. Ia akan lekas berpamitan tepat setelah Ibu menutup panggilan.

Ia juga anak yang sopan, Bu. Ketika berbicara di depan mama, ia berusaha diam, tenang, dan tak lupa mencium tangan mama saat berpamitan. Bu, Bu, Bu, aku punya cerita lucu. Sepertinya anak Ibu sulit sekali menyembunyikan ekspresinya. Pernah sekali waktu, ia akan berpamitan pada mama. Namun berbolak-balik memperhatikan penampilannya. Memperbaiki rambutnya, penutup kepalanya, hingga merapikan bajunya. Ia terlihat gugup, namun menggemaskan pada saat yang sama.

Bu, anak lelaki Ibu itu yang terbaik. Ia selalu memperlakukanku dengan baik. Menyanyikanku banyak lagu sebelum tidur, menyanyikan lagu apa saja yang kuminta, memiringkan sepeda motornya yang tinggi saat menjemputku, menceritakan sosok aku kepada teman-temannya, memuji dan menyemangatiku, bahkan rela menerima serangan cubitanku di pinggangnya saat ia menyetir. Tidak, Bu. Tidak. Tentu saja tidak sesakit yang Ibu kira. Tenagaku tidak sekuat itu untuk membuatnya merasa kesakitan.

Ia membuatku merasa memiliki segala yang ada di luar dirinya, Bu. Namun, sepertinya kami lupa satu hal penting, Bu. Di balik segala bahagia yang kami miliki, kami lupa sedih dan pertengkaran. Kami lupa bahwa luka dan kecewa tentu saja akan ada. Lalu, ketika sampai pada titik itu, tidak satu pun dari kami yang jujur terhadap luka kami.

Aku, setidaknya pernah mulai mencoba membicarakannya, Bu, tetapi ia tak demikian. Aku tidak tahu menerjemahkan diamnya. Aku selalu bisa tahu apa yang dia maksud ketika berbicara. Saat berbicara secara sarkas, ia sedang cemburu. Saat mata dan pembicaraannya selalu menuju dan tentangku, ia sedang bahagia bersamaku. Namun, saat ia diam, aku tidak tahu apa pun.

Maka seperti inilah akhirnya, Bu. Bungkamnya membuatku turut bungkam. Aku enggan banyak bertanya padanya, sebab selalu menyalahkan diri atas lukanya yang sebabku. Lalu kami menjadi semakin diam, Bu. Hingga akhirnya tanpa sadar menjadi jauh dan saling melupakan.

Mungkin memang benar, Bu, bahwa hubungan adalah tentang komunikasi yang baik dan sejalan. Kami mampu mengatasi kesenangan yang sebesar gunung, tetapi gagal mengatasi luka yang sebutir.

Bu, suratku kepanjangan, ya? Maafkan aku, Bu. Baiklah, kurasa sudah cukup, Bu. Sekali lagi, aku hanya ingin mengucap banyak terima kasih dan meminta maaf. Terima kasih sekali lagi karena telah melahirkan dan membesarkan lelaki sebaik ia. Juga, maaf karena tidak bisa membahagiakan anak Ibu sebaik ia membahagiakanku. Kuharap, Ibu tetap memperlakukanku sebaik biasanya meski aku dengan ia tak lagi (ber)sama.

Dari Aku,
Perempuan yang Gagal Menjadi Putri Menantu Ibu.

Posting Komentar

0 Komentar