Tidak Sekarang

Tuan.
Boleh kupanggil kaudengan sapaan itu? Kurasa aku ingin menulis tentangmu lagi. Aku takut meledak. Memikirkan banyak hal tentangmu sendirian, lalu berakhir menangis.

Aku ingin bersamamu, Tuan. Perasaan nyaman tidak pernah menjadi semenyenangkan ini. Tapi aku masih belum bisa berjuang menujumu sekarang. Tidak sekarang. Aku masih belum merasa berhak memperjuangkanmu. Aku sedang tidak bahagia dengan aku yang sekarang. Aku ingin datang saat merasa bahagia, agar bisa menyeretmu ke dalam bahagiaku.

Banyak hal yang perlu kutuntaskan sebelum menujumu. Kurasa kaujuga demikian. Tetapi, Tuan, entah mengapa, aku merasa malah semakin mendorongmu jauh. Membuatmu semakin mengengganiku. Itulah mengapa aku menjadi begitu takut kaupergi. Aku takut kauyang mencintaiku hilang. Aku menakuti banyak hal saat bersamamu.

Tuan, maukah kau menungguku? Aku ingin lebih mendewasa. Menjadi lebih mapan denganmu. Mencintaimu dengan cinta yang paling dewasa dan paling berharga yang kumiliki.

Maka, Tuan, bisakah kau menungguku? Jika aku mendatangimu (dengan sungguh-sungguh) beberapa tahun ke depan, maukah kau menerimaku kembali, Tuan? Iya, aku tahu, aku cukup egois. Bahkan kejam. Bagian yang lebih egois dan lebih kejam adalah aku tak ingin kaujatuh cinta dengan orang lain. Jangan jatuh cinta pada orang lain! Tidak boleh dan jangan!

Aku ingin kembali dengan banyak kebahagiaan dan persiapan untukmu. Sebuah hubungan tentu saja tidak terlepas dari saling melukai, tetapi mari kita mendewasa dengan tidak menjadikannya sering. Aku ingin bersiap diri sebagai perempuan yang akan membangunkanmu tiap pagi. Memasakkan makanan hingga sambal favorit resep ibumu. Dinyanyikan lagu romantis kesukaanmu dengan lenganku yang memelukmu.

Maka, Tuan. Sekali lagi. Bisakah kau menungguku? Bisakah kautidak jatuh cinta pada orang lain sebelum kedatanganku?

Posting Komentar

0 Komentar