Melupakan adalah Jalan Menuju Asing

Ketika lagi nyenyak-nyenyaknya tidur semalam, setelah beraktivitas di luar rumah mulai pagi hingga malam kemarin, malah mimpi. Rasanya nyata. Sangat nyata. Terlalu detail. Sampai ketika bangun, aku merasa malah dunia nyata justru adalah mimpi.

Dalam mimpi itu, rasanya aku ada di suatu tempat. Tempat umum, ada banyak orang. Beberapanya adalah orang yang kukenal. Setelah duduk cukup lama, tiba tiba seseorang datang, duduk di sampingku dengan tangan mengangkat sebuah kotak kecil.

Diaaa.
Iya, itu dia.
Seseorang itu.
Seseorang yang sejak kami memutuskan berpisah, tidak pernah bertemu sekalipun. Bahkan meski ia beberapa kali mengajakku bertemu, aku menolak. Aku, entah dengan alasan apa. Entah karena lelah dan tak ingin menjelaskan banyak hal padanya, entah karena menjaga hati seseorang yang lain---yang sepertinya ia bahkan enggan dijaga perasaannya olehku.

Turn back to him and my dream last night. Ia duduk di sampingku, dengan kaos hitam yang sering ia kenakan saat bertemuku pada masa lalu. Ia menyapaku dengan nada cukup bersemangat.

"Hai, Lisa!"

Aku membelalak saat berbalik dan menemukan asal suara itu. Ia membuka kotak kecil di pangkuannya. Aku mengenali seluruh isinya. Seluruhnya. Ia pernah memberikannya padaku dan aku mengembalikan padanya. Sepasang boneka berukuran setelapak tangan; tikus dan kelinci mungil, sebuah gelang berukirkan sepasang nama, selembar sapu tangan biru muda dengan border cetak biru tua pada masing-masing empat sisinya.

Satu persatu isi dari kotak kecil itu diperlihatkan padaku. Pertama, dua boneka kecil itu digenggam dan dihadapkan padaku sambil ia berkata.

"Dulu, aku bersusah payah bermain di Timezone untuk mendapatkan keduanya. Menurutku, satu tidak cukup, hanya membuatmu makin sepi saat aku jauh. Jadi, aku merogoh banyak koinku untuk mendapatkan kelinci ini."

Ia bercerita panjang, sementara aku hanya diam mematung. Ia melanjutkan pada benda kedua; sebuah gelang berukirkan namaku dan namanya.

"Saat liburan perpisahan sekolah, aku tak sengaja melihat toko pembuat gelang di pintu masuk tempat liburan itu. Kupikir, aku harus mendapatkan satu. Aku ingin memasangnya di pergelangan tanganmu. Ketika perjalanan pulang dalam bus, kulihat kauterkejut lalu tersenyum saat kuminta kaumenekuk lenganmu agar aku bisa memasangnya. Tepat! Itu cocok untukmu  meskipun ini sedikit norak dengan tulisan nama kita. Kuingat, kaubahkan sempat menekuk wajah saat aku memintamu berjalan pulang menuju bus terlebih dahulu. Agar aku bisa menyempatkan membeli ini . Aku suka melihat kauterus mengenakannya saat pertemuan kita yang kadang-kadang karena berbeda kota."

Terlalu rinci. Ia menuturkannya dengan detail untuk sesuatu yang sebenarnya tidak kuketahui. Untuk sesuatu yang hanya hidup dalam sudut pandangnya. Berlanjut pada benda ketiga, ia menjelaskannya lagi.

"Sapu tangan ini tidak pernah kaucuci setelah kuberikan?"

Aku balas menggeleng.

"Ada air mataku yang mengering dalam serat-serat benangnya. Pertemuan kita yang terakhir sebelum kita berakhir membuatku menangis."

Ia berhenti berbicara sedetik-dua detik lalu menatap wajah keherananku.

"Kau ingat saat itu, aku sakit cacar? Saat itu liburan kenaikan kelas. Seperti biasa, aku harus pulang agar bisa mengisi liburanku bersamamu. Saat itu, seluruh tubuhku penuh cacar. Rasanya seluruh badanku melepuh, sangat perih saat terkena angin di atas sepeda motor. Tetapi aku menahannya, sebab kauterlihat begitu bahagia bertemuku setelah sekian lama. Aku juga sama bahagianya. Itulah mengapa aku menahannya. Sesampai rumah setelah pertemuan kita, aku menangis. Menyadari bahwa aku tidak pernah semencintai ini pada orang lain. Lalu, aku ingat kau mengatakan satu hal setiap kali duduk di sisiku, 'aku menyukai aromamu'. Waktunya sangat tepat, salah seorang teman kita datang untuk bertemuku, kebetulan jalan pulang menuju rumahnya melewati rumahmu. Aku menitipkan sapu tangan ini padamu. Agar saat merindukanku, kaupunya banyak hal yang bisa mengingatkanmu padaku. Menggantikanku, meski tahu itu tidak pernah cukup."

Seseorang tiba-tiba lewat di depan kita. Ia berhenti menjelaskan lalu membalas sapanya.

"Hai, sejak kapan kaupulang ke sini?"

"Beberapa hari yang lalu." Jawabnya.

"Kalian balikan?"

"Tidak!" Aku dengan tegas dan sigap menjawab sementara kau menatapku dengan tatapan nanar.

"Kupikir kausudah punya kekasih baru lagi," seseorang itu bertanya padanya lagi.

"Aku... aku bisa meninggalkannya untuk kembali kepada Lisa."

Aku terdiam. Aku tidak pernah ingin ia lagi. Pernah terluka sekali tidak membuatku ingin bersamanya lagi. Seseorang yang singgah tadi berlalu pergi.

"Kamu gila!" Ucapku.

"Aku minta maaf." Katanya dengan nada menyesal.

"Kautidak perlu."

"Aku ingin kembali dan menebusnya."

"Kautidak perlu." Ucapku mengulang jawaban yang sama.

"Aku tidak mencintainya. Aku tidak bisa mencintai siapapun seperti aku mencintaimu. Seperti sebuah kutukan. Kaumenjadi satu-satunya yang sulit kulupa."

"Aku tidak. Aku sudah bahagia. Tahun pertama kepergianmu begitu sulit. Aku melewatinya terpontang-panting. Seperti sebuah boneka wayang yang tangan, kaki, hingga kepalanya harus digantung tali untuk digerakkan, sebab tak mampu kugerakkan dengan kekuatanku sendiri. Aku tak ingin melewatinya lagi. Entah kaumerasa seperti ini karena begitu banyak memberi dan berjuang untukku, sementara aku hanya terus menerima dan diperjuangkan olehmu. Entah. Aku tak tahu. Tapi, tolong jangan memintaku untuk kembali padamu lagi. Aku mengembalikan semua pemberianmu karena enggan mengingatmu lagi. Aku pernah menjadi sesak sebab nyeri, perih, dan luka memenuhi seluruh isi tubuhku. Aku enggan mengalaminya lagi. Bisakah kausedikit saja mengerti?"

Tepat setelah kalimat tanya terakhirku, ia berdiri dengan wajah menunduk. Terlihat lesu dan berjalan tanpa menoleh lagi padaku. Delapan, sembilan, sepuluh, tepat pada langkahnya yang kesepuluh, aku berteriak lantang.

"Aku sudah memaafkanmu. Aku sudah melupakan kesalahanmu. Sudah waktunya kita saling berdamai dengan masa lalu. Kaubisa bersama yang lain, dan tak perlu menemuiku lagi hanya untuk meminta maaf. Itu semua karena aku sudah memaafkanmu. Aku sudah dengan tenang memaafkan salahmu. Entah dengan rasa bersalahmu.  Tetapi kuharap kautetap memilikinya meski secuil. Itu hukumanmu."

Ia berbalik tersenyum. Tepat setelah kalimat terakhirku berakhir dengan napas tersengal-sengal, ia tersenyum dengan lekuk yang asing. Senyum yang aku tidak tahu maksudnya. Detik itu, aku menyadari satu hal penting. Melepaskan, merelakan, memaafkan, dan melupakan dapat membuat seseorang menjadi asing bagi kita. Bahkan untuk (sesuatu atau) seseorang yang kita kenal dengan sungguh.

Posting Komentar

0 Komentar