Seribu Kicauan Buruk dalam Kepala

"Malam ini, kauterlalu canggung."

Demi apapun, hingga malam ini belum sempat kumantapkan hatiku bertemumu. Aku belum memikirkan raut wajah terkerenku saat harus berada di depanmu. Aku belum memikirikan pertanyaan-pertanyaan tepat yang harusnya kutanyakan saat bertemumu. Sebab sungguh, di kepalaku hanya ada satu kalimat perintah yang sulit berhenti kurapalkan:
"Berhenti merasa istimewa bagi seseorang yang tidak mengistimewakanmu!"

Lalu, setelah bertemumu malam ini pikiranku berakar serabut. Tiba-tiba dengan ganas pertanyaan-pertanyaan itu bertumbuh sepersekian detik.

"Mengapa dia tidak merasa secanggung pikirku?"
"Apakah dia akan selalu seberpura-pura itu?"
"Atau justru apakah ia sudah lupa?"
"Atau apakah ia sama sekali tidak merasa bersalah?"
"Apakah ia tidak merasa perlu membicarakannya?"
"Apakah aku tidak akan mendengar satu kata maaf malam ini?"
"Apakah ia merasa sebegitu tidak pentingnya ada pada saat-saat aku ingin ada ia?
"Apakah hal yang riuh kucakapkan dalam kepalaku saat ini, sebenarnya sama sekali tidak berarti apapun baginya?"

Pertanyaan-pertanyaan mencekam lain membuatku menggeleng tanpa sadar. Uring-uringan sepanjang malam. Berguling-guling hingga ke tepi kasur semalam suntuk.

Terlepas dari pertanyaan-pertanyaan dalam kepalaku itu, perasaan bersalahku juga sama mencekamnya. Aku salah mendiaminya. Aku salah tidak membalas jabatan tangannya. Aku salah mengabaikan percakapan yang sudah susah-payah ia susun, agar aku turut bercakap dengannya. Aku salah mendiaminya lama. Aku salah karena lebih memilih bercakap dengan orang lain daripada ia. Aku salah karena tidak membiarkan diriku berjalan bersamanya untuk menjelaskan alasan kebungkaman dan kecewaku. Aku salah karena mengabaikan usahanya membujukku hingga mengelus puncak jilbabku yang biasanya tak pernah ia lakukan.

Beberapa usaha terakhirnya sempat menurunkan egoku. Mengelus puncak kepalaku membuatku lemah. Iya, aku memang selemah itu jika dielus puncak kepalanya. Aku bahkan memberinya satu senyuman kaku saat akan pulang. Lalu kembali memasang wajah datar.

Saat ia mengatakan sesuatu kepada teman-teman(ku),
"Ia sudah tidak lagi marah. Tetapi sekembali di rumah, ia akan kembali seperti itu."

Satu hal yang bisa kupastikan dari kalimat itu adalah ia akan mengirimiku pesan malam ini. Ia, entah mengapa aku mudah sekali menebaknya. Ucapannya sama sekali bukan teka-teki yang sulit kupecahkan. Namun tidak dengan kebungkamannya.

Aku menunggu pesannya sesampai di rumah. Sudah kuduga, tak lama setelah itu, pesannya masuk. Dan entah mengapa aku kembali merasa kecewa lebih dalam. Bahkan hingga sesampaiku di rumah, ia belum menyadari satu kecewaku yang paling dalam.

Aku kecewa. Banyak. Padamu yang kupercaya, tetapi bahkan tak menyadari kecewaku. Terlebih kepada diriku sendiri, karena dikhianati kepercayaanku sendiri.

Itulah mengapa, aku harus meminta maaf padanya. Sebab pada kenyataannya, bukan ia pelaku sebenarnya dari rasa kecewaku. Melainkan diriku sendiri. Ia bukan orang yang berhak kusalahkan atas kesalahanku sendiri. Harapanku, inginku, percayaku, bukan ia yang menciptakannya. Melainkan diriku sendiri.

Posting Komentar

0 Komentar