Merasuki Mimpimu

Selamat tengah malam!
Tidak, jangan balas sapaku! Kuharap kau tidak membalasnya---bahkan membacanya. Kuharap saat ini, kau sudah tertidur pulas. Aku sedang ingin merasuk ke dalam mimpimu.

Aku sering memimpikanmu. Bahkan ketika lama tak bertemumu, frekuensi mimpi yang ada kamu di dalamnya menjadi tidak terkendali. Kau menjadi tokoh utama dalam mimpi-mimpi itu, entah dengan plot yang logis, entah dengan plot yang nonlogis.

"Katanya, jika seseorang sedang memikirkan kita, kita akan memimpikan orang yang memikirkan kita itu."

Maka kali ini, aku sedang berusaha memikirkanmu sebanyak mungkin. Sesering mungkin. Lebih dari biasanya. Agar kau memimpikanku. Iya, aku memaksa. Aku bahkan sedang mengatur skenario di kepalaku---dan kau tidak boleh keberatan (sama sekali).

Baiklah, kumulai saja. Kuharap kau tidak mengunci pintumu malam ini. Aku ingin bertamu. Aku akan datang dalam lelap tidurmu. Pada tidurmu yang pulas, aku akan menjelma udara yang kau hirup agar mudah merasuki mimpimu. Siapkah kau?

Satu...dua...tiga, kini aku sudah berada di tempat dengan banyak bunga yang bermekaran, duduk di bangku taman sambil menopang dagu pada meja yang seluruhnya dicat putih bersih---dan kau sudah di depanku sambil menatapku dengan mata yang gemetar setelah aku mulai menanyakan kalimat pertamaku.

"Apakah sesulit itu mencintaiku lagi?"
"Aku hanya takut terluka, sekali lagi, oleh orang yang sama."
"Tetapi jika kau bersama orang lain, aku tidak ingin orang lain yang menyakitimu. Sama seperti seorang ibu yang tidak akan pernah rela anaknya dimarahi oleh orang lain."
"Tetapi kita bukan ibu dan anak."
"Maksudku, sebab aku mencintaimu, aku tidak ingin membiarkan orang lain menyakitimu. Perasaan mereka tidak akan pernah sebesar yang kumiliki. Mereka tidak akan merangkulmu sehangat aku. Mereka tidak akan menangis sekuat aku, saat tahu mereka telah menyakitimu. Sekali lagi, sebab mereka tidak akan mecintaimu sebesar aku."
"Apakah kau mencintaiku?"
"Kau ini bodoh."
"Iya, aku sebenarnya tahu. Aku sebenarnya peka."
"Tetapi tidak pernah benar-benar peka."
"Aku ini ahlinya kepekaan."
"Lantas?"
"Aku hanya menyembunyikannya."
"Seorang ahli seharusnya memperlihatkan kemampuannya. Bukan menyembunyikan. Sebab sesuatu yang tidak terlihat, sejatinya membuat kita berpikir bahwa mereka memang nihil. Kecuali...."
"Kecuali?"
"Allah swt dan makhluk-makhluk gaib ciptaan-Nya."
"Coba ingat-ingat lagi, aku ini lebih peka dari yang kau duga."
"Iya, aku tahu. Setiap kalimat yang kukatakan padamu, aku tahu bahwa kau paham."
"Lantas?"
"Kau tidak menunjukkan kepekaanmu."
"Apakah harus ditunjukkan?"
"Iya, kau harus. Sebab jika tidak, otakku akan melahirkan banyak praduga-praduga tak jelas. Hingga praduga buruk tentang diriku sendiri."
"Misal?"
"Aku pasti sudah melakukan kesalahan (lagi) dan...."
"Dan?"
"Ia tidak merespons, aku memang sudah tidak sebegitu berartinya baginya. Ia benar-benar tidak peduli aku lagi."
"Kau salah."
"Tidak, aku benar. Aku benar, selama kau tidak melontarkan penjelasan."
"Kau salah! Kubilang, kau salah!"
"Kalau begitu, aku akan menanyakan beberapa pertanyaan untuk menjawab seluruh kegelisahanku tentangmu. Apa jawabanmu jika kutanyakan ''apakah kau memedulikanku?, 'apakah benar bahwa aku tidak bisa kau ganti dengan siapapun?'. Lalu pertanyaan terakhir, 'apakah kau masih mencintaiku?' Bisakah kau menja..."

Kalimatku terputus. Rupanya waktuku habis. Kau sudah terbangun. Sementara semua tanya yang sengaja kusisihkan di bagian akhir menjadi arwah penasaran. Mereka bergentayangan dalam kepalaku dan aku mencoba mengenyahkannya dengan segala kemungkinan jawaban(mu).

Apakah harus kurasuki mimpimu lagi untuk mendengarkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaanku?

Posting Komentar

0 Komentar