Lisyah dan Usia 21 Tahun

Tahun 2017 sudah 21 tahun saja, ih! Padahal rasanya baru kemarin masuk sekolah dasar. Duduk manis dengan tangan dilipat di atas meja beserta wajah polosnya di kelas, dan selalu bermain permainan yang berbeda setiap harinya. Memang selalu, ya, waktu yang telah berlalu terasa cepat sekali berjalan, pun sebaliknya, waktu yang dinanti terasa lambat sekali berjalan.

Jadi, usia 21 tahun Lisyah benar-benar menjadi puncak dimulainya kehidupan yang rumit. Mulai dari kehidupan keluarga, kuliah, pertemanan, hingga pemikiran-pemikiran tentang masa depan.

Usia 21 tahun Lisyah menjadi awal diperkenalkannya Lisyah kepada pilihan yang rumit. Bukan lagi pilihan-pilihan mudah yang hanya berimplikasi untuk kehidupan sementara seperti yang Lisyah lalui saat masih terbilang teenagers. Usia 21 tahun, Lisyah sudah diperkenalkan pada pilihan-pilihan rumit yang akan berimplikasi untuk kehidupan permanen Lisyah. Bagi Lisyah, usia 21 tahun itu adalah tantangan.

Usia 21 tahun, Lisyah sudah mulai dihadapkan dengan masalah-masalah pelik perihal keputusan-keputusan yang akan Lisyah pilih. Yang tentu saja, pilihan-pilihan itu selalu dirongrong dengan pertanyaan-pertanyaan seperti, apakah itu adalah pilihan yang tepat? Apakah itu adalah pilihan yang tidak akan Lisyah sesali? Apakah itu adalah benar-benar pilihan terbaik untuk masa kini dan masa depan Lisyah? Apakah pilihan itu memiliki lebih banyak manfaat daripada mudarat untuk kehidupan Lisyah secara permanen?

Usia 21 tahun, Lisyah juga sudah mulai berpikir tidak hanya untuk diri sendiri. Tidak lagi menjadi penganut self centered a.k.a selfish. Tiap kali bertindak Lisyah sudah mulai berpikir, apakah ini hanya bermanfaat untuk Lisyah saja, atau bisa juga berdampak baik bagi orang lain. Jika bisa berdampak baik bagi orang lain, maka mengapa tidak dipenuhi saja tindakan itu? Usia 21 tahun yang Lisyah miliki sudah bukan lagi hanya menarik tindakan dan keputusan yang hanya berdampak baik untuk diri sendiri saja. Setidaknya, pikiran Lisyah sudah mulai terbentuk satu hal ini; dalam dunia ini ada saya, tetapi di dunia tidak hanya ada saya saja.

Sebelumnya, tiap kali berbelanja, Lisyah selalu terpaku pada barang-barang yang cocok untuk Lisyah saja. Yup, self centered Lisyah memang kental saat masih teenagers. Kini, usia 21 tahun Lisyah seringnya lebih banyak menghabiskan waktu berpikir dan memilih barang yang bukan untuk sekadar Lisyah saja. Tiap kali pandangan Lisyah jatuh pada barang-barang yang cocok dengan karakter orang yang Lisyah kenal (dengan akrab), Lisyah selalu berpikir untuk menghadiahkannya. Melalui hal ini, Lisyah juga belajar satu hal: menghadiahkan sesuatu yang sesuai dengan karakter seseorang yang dihadiahi, akan membuat seseorang itu merasa diperhatikan dan dihargai.

Dan usia 21 tahun ini, Lisyah juga menjadi paham satu hal penting. Bahwa pada usia kepala dua, semua orang sensitif dengan pertanyaan seperti:
- "kapan studinya selesai?", dan
- "kapan nikah?"

Pertanyaan pertama cukup mampu membuat panas-dingin. Iyalah, menyelesaikan penelitian skripsi itu bukan perkara mudah lho, yaaaaa. Meskipun sebenarnya, Lisyah jarang ditanyai seperti itu. Lebih seringnya ditanya: "Kamu sekolah di mana? Sudah kelas berapa?" Mendengar pertanyaan-pertanyaan seperti itu Lisyah hanya bisa melongo. Padahal sudah kuliah, sudah semester tujuh pula, sudah diperbolehkan menikah *eh.

Pertanyaan kedua ini adalah pertanyaan yang paling membuat pangling dan linglung. Apalagi untuk kaum jomlo berformalin nan berabad-abad nan lumutan macam Lisyah. Hihi. Terlebih lagi, setiap kali hadir pada acara pernikahan keluarga, pasti selalu ditanya, "kapan nyusul?" Ya Allah, ini pasangannya saja belum dapat, masa iya, mau duduk di pelaminan sendirian?

Tetapi menyangkut pertanyaan kedua, jomlo dan masih belum memikirkan tentang nikah-nikahan, sebenarnya adalah pilihan Lisyah sendiri. Usia 21 tahun, membuat Lisyah mulai berpikir matang. Pacaran tidak pernah mempunyai lebih banyak manfaat daripada mudarat. Waktu akan terlalu banyak terbuang untuk hal yang kurang (atau sama sekali tidak) bermanfaat. Terlebih ketika semuanya berakhir, semua usaha dan waktu malah menjadi kali nol. Iya, kali nol. Lagipula, masih 21 tahun. Lisyah malah menargetkan untuk menikah diusia 24-28 tahun, atas izin Allah. Lisyah ingin menikmati saja dulu waktu sendiri, lukis dulu quality self time. Sebab setelah menikah, kita dan tanggung jawab kita adalah satu sisi kehidupan yang berbeda lagi.

Jadi, usia 21 tahun Lisyah adalah jendela kehidupan baru yang banyak mengajarkan hal baru. Mulai dari membuat kuputusan dari banyak pilihan rumit, menimbang-nimbang hingga benar-benar jelas sebelum mengambil keputusan, tidak lagi menjadi mahkluk penganut self centered a.k.a selfish, dan mulai paham betapa pentingnya menguasai jurus menghilang ketika ditanya "kapan studinya selesai?" dan "kapan nikah?"

So, how about you? Apakah usia 21 tahun kita sama?

Posting Komentar

0 Komentar