Bapak, Pulanglah Sebentar

Lebaran kali ini sudah menjadi kali kedua tanpamu, Pak. Biasanya, Bapak banyak berbicara kepada seluruh keluarga kita. Memberi banyak petuah, menasehati, memeluk, bahkan menahan air mata hingga bola mata Bapak memerah dengan bening yang hendak pecah.

Kali ini sudah menjadi tahun kedua. Dan ingatan tentang keberadaan Bapak di hari-hari seperti ini masih menyata. Pagi-pagi buta serumah gempar berebut mandi lebih dulu, meskipun di rumah kami memiliki empat kamar mandi. Bapak selalu menjadi yang pertama selesai. Aku ingat, Bapak sangat disiplin waktu. Kupikir itulah mengapa Bapak bisa menjadi seseorang yang sukses pada bidang yang Bapak geluti. Aku serius pada bagian yang ini, Pak.

Aku suka Bapak, aku mencintai Bapak. Terlepas dari kesalahan yang Bapak lakukan di detik terakhir hidup Bapak. Dulu, di masa lalu, ketika aku masih duduk di bangku sekolah dasar, Bapak selalu sibuk menungguku pulang sekolah. Bapak duduk berbincang bersama guru-guru yang notabene beberapanya adalah teman semasa sekolah Bapak dulu. Sepulang sekolah, Bapak selalu menanyakan kondisi belajarku; apakah aku kesulitan, pelajaran mana yang sulit, termasuk, besok mau uang jajan berapa.

Aku tahu beberapa teman di sekolah dasar sebenarnya cukup iri. Punya bapak yang menunggu putri bungsu Bapak selesai sekolah, memiliki peralatan sekolah yang luar biasa bagus yang tidak dimiliki oleh teman lain, juga punya uang jajan lebih. Aku tahu, hanya saja Lisyah (kecil) memilih diam. Sebab dunia memang seolah selalu memiliki hukum seperti ini; "apa yang kamu miliki akan membuat orang lain juga ingin memilikinya, dan karena ia tidak memilikinya, mereka berharap kau juga tidak memilikinya. Juga terkadang, untuk apa yang mereka miliki, mereka akan mendesain sedemikian rupa agar kau tak memilikinya."

Segala sesuatu yang kita miliki memang punya rodanya. Segalanya kadang berada di bawah, lalu berada di atas, sebab takdir selalu berputar. Yang Maha Kuasa selalu adil mencipta poros kehidupan. Lalu roda itu berputar. Kami kehilangan Bapak sebanyak dua kali. Sebanyak dua kali dengan cerita yang amat pedih. Sebagai anak bungsu yang belum punya sandaran, Lisyah hanya bisa berpura tersenyum, terlihat biasa saja, seperti tidak terjadi hal yang luar biasa menyakitkan. Sebab menangis di depan Mama, hanya akan menambah rasa sakit yang menderanya.

Tahu tidak, Pak? Rasanya selalu sesak ketika orang lain mengenang kemudian menyebut nama Bapak. Rasa rinduku menjalar mencekik hati, jantung, tenggorokan. Aku ingat setiap malam Bapak membuka dan membaca potongan-potongan surah di Al-Quran kecil Bapak, lalu ketika haus memintaku mengambil segelas air. Aku suka suara Bapak yang sedang melantunkan lafaz-lafaz firman Allah, terlebih saat menjadi imam ketika kami sekeluarga salat berjamaah. Kala itu kuyakinkan pada hatiku, "aku akan menikahi lelaki seluar biasa Bapak."

Maka, tak bisakah Bapak pulang sebentar saja? Sebentar saja, akan kuperlihatkan nilai-nilai akademikku yang cukup bisa membuat Bapak dan Mama tersenyum bangga. Putri bungsumu ini juga semakin dewasa, selepas banyak pahit-getir yang mengguncang hidupnya. Kata orang, putri bungsumu ini juga cantik, entah hanya sekadar pujian yang memabukkan pendengaran atau bukan. Aku ingin menjadi cantik karena aku adalah putri Bapak dan Mama.

Bagaimana jika Bapak pulang sebentar saja? Di usia yang semakin menanjak, putri bungsumi ini punya banyak keputusan besar dan penting yang harus ditarik dengan bijaksana. Kurasa, untuk menarik keputusan sebesar itu, aku belum cukup bijak. Maka aku harus tahu bagaimana pendapat Bapak, selepas dari pendapat mama yang aku bertanya padanya lebih dulu. Bagaimana jika keputusanku salah, Pak? Apakah aku sanggup menerima hasil dari keputusanku sendiri?

Jika Bapak di sini, semua pasti akan lebih baik. Kita akan makan bersama. Aku berjanji tidak akan menyisakan sebutir nasi pun di piringku lagi. Aku bisa memandangi wajah Bapak yang meski sudah banyak berkerut, tetapi tetap menawan di mataku. Lalu aku akan menimbang-nimbang, di usia dua puluh satu tahun ini, gen siapa yang lebih mendominasiku? Aku lebih mirip siapa; Bapak atau mama?

Terakhir, aku mohon Bapak datang sebentar saja. Pulanglah sebentar saja, Pak! Jika tak punya banyak waktu, aku akan memelukmu saja. Aku akan memelukmu tanpa menangis. Akan kujanjikan satu hal itu. Bapak tahu, kan, putri bungsumu ini tidak akan pernah mengingkari janji.

Posting Komentar

1 Komentar