Tak Cukup Percaya

Mereka bilang karena pernah bersamanya, aku sudah pasti hafal mati tentangnya. Padahal mereka tak tahu, bahwa untuk memahaminya, aku berupaya keras.

Ia tak suka menceritakan segala kisah sedihnya kepadaku. Hampir tak pernah. Aku merasa tak perlu berada di sisinya. Ia bahkan tak butuh aku sebagai salah satu tempatnya bersandar. Atau setidaknya, membiarkanku tahu penyebab rasa sakitnya.

Mungkin bagian salahnya bukan padanya. Mungkin bagian salahnya ada padaku. Aku tak cukup mampu dipercaya olehnya. Tidak pernah ada cerita sedih yang sampai padaku; kubaca atau bahkan kudengar. Ia hanya datang menawarkan canda.

Pernah suatu waktu aku tidak sedang dalam kondisi kesehatan yang baik. Dan ia kelimpungan bertanya.
"Rasanya sesakit apa?"
"Sakitnya sudah berapa hari?"
"Obatnya sudah diminum?"
"Di sana lagi sama siapa? Panggil temannya biar ada yang nemenin"
"Sudah minum air putih banyak-banyak?".
"Sudah istirahat?"
Ia bertanya sebanyak itu, dan rasanya seperti sebuah sihir. Aku merasa lebih baik dari sebelumnya. Jauh lebih baik. 

Ia merasa perlu mengkhawatirkanku, sedangkan aku tak diberinya izin untuk mengkhawatirkannya. Ia tak berbicara banyak, dan aku juga merasa sungkan bertanya. Takut ia tak ingin berbicara, takut ia berlari menyembunyikan diri lagi untuk beberapa waktu lamanya.

Ia tak tahu bahwa sebenarnya aku menunggunya bercerita. Ia tak tahu bahwa aku hampir mati menahan diri untuk menanyakan segala pertanyaan yang sudah hampir mengusut di kepalaku.

Bagiku, karena kala itu ia memberiku banyak perasaan, aku juga ingin bersikap demikian. Aku ingin mengkhawatirkannya, aku ingin menyemangatinya, aku ingin sesekali ia bersandar padaku. Aku ingin di sisinya seperti dia di sisiku. Tetapi pada akhirnya menjadi sulit. Aku bukan orang yang cukup ia percaya.

Posting Komentar

0 Komentar