Kepada Tuan yang Sulit Kugapai

Hai! Atau hello saja?
Ah, aku tak tahu seperti apa menyapamu di bagian sini. Terlalu kaku, dan ketika memulai menuliskan surat ini, aku berpikir lebih dari sepuluh kali.

Apakah suratku ini akan dibaca olehmu dengan selamat? Apakah suratku ini akan menuju subjek tulisannya dengan tepat? Akankah setiap deret huruf yang sengaja kutuliskan ini akan disorot oleh sepasang matamu? Ah, tapi aku tak peduli dengan hal-hal yang terlalu meragui itu. Aku hanya akan menulis saja untukmu.

Aku tahu kabarmu baik-baik saja sekarang. Aku sudah tak lagi seberani dulu. Nyatanya dulu bahkan aku tak berani mengirimimu pesan lebih dulu. Aku tak pernah berlakon sebagai pihak pertama yang menghubungimu lebih dulu. Aku tak seberani itu. Kulihat, kau menjadi lelaki yang semakin lelaki. Semakin rupawan, dan ehemm semakin membuat bermimpi untuk dimiliki suatu saat nanti.

Tunggu, kau jangan menarik kesimpulan terlalu cepat. Maksudku, kau semakin terlihat menarik dengan banyak ilmu bertumpukan di kepalamu. Tentang kau yang semakin terlihat lebih baik, lebih sopan, lebih berilmu, lebih berwibawa, lebih berakhlak, dan poin utama yang membuat kagumku tak hentinya mengalir adalah ilmu akhirat dan ajakan beragamamu yang semakin menguat. Aku merasa hampir saja meleleh dibuatmu.

Adakah tempat di sisimu, untukku? Ah, baiklah, aku ingin meralatnya. Maksudku aku berharap suatu nanti bisa dipertemukan lelaki sepertimu. Sebab bersamamu saja, sudah seperti aku mencoba menarik seluruh pulau-pulau di seluruh belahan dunia menjadi satu. Terlalu-sangat-begitu-amat-mustahil.

Apa aku terlalu pemimpi? Bagiku di usia dua puluh tahun kini, sudah bukan saatnya untuk bertemu dengan seseorang yang inginnya hanya bermain di dunia. Bagiku, usia dua puluh tahun adalah usia yang tepat untuk mempersiapkan diri sembari menunggu yang terbaik.

Sebab kemarin, usia belasan tahunku habis hanya untuk kesia-siaan perihal cinta. Meratapi kepergian seseorang yang sebenarnya tak baik untuk diriku sendiri, salah satunya. Juga tentang menunggu seseorang yang sebenarnya kupaksakan untuk kucintai dengan terlalu. Umur sebelasan tahunku habis hanya karena lelaki yang kupikir kucintai hingga tulang-tulang, nyatanya ia berperan sebagai pengisi sepi setelah kepergian seseorang yang lain. Aku salah menafsirkan perasanku sendiri.

Maka darinya, akan lebih baik jika usia dua puluh tahunku kuhabiskan mempersiapkan diri dengan matang. Tanpa berpikir pendek lagi. Tanpa berpikir bahwa sepi untuk keadaan kini adalah sesuatu yang seharusnya tak boleh kurasakan. Sepi adalah cara terbaik untuk memperbaiki diri dari perasaan yang salah dan pola hidup yang salah.

Aku akan mempersiapkan diri. Setelahnya, aku akan menuju atau dituju oleh seseorang. Entah itu kamu, atau mungkin saja yang sebaik kamu.

Kepada kamu, Tuan yang terlalu tinggi untuk kugapai.

Posting Komentar

0 Komentar