Aku dan Perempuan dalam Cermin

Hari-hari berlalu, sejak memutuskan berhenti memperjuangkan kita, aku kembali pada segala hal yang kulakukan sebelum mencintaimu. Aku mulai terbiasa melakukan segala hal yang pernah kulakukan sebelumnya, yang tidak ada kamu di dalamnya.

Anehnya, hari ini tiba-tiba aku memahami diriku sendiri. Pernah menyalahkanmu atas segala rasa sakit dari dinginnya kamu adalah sepenuhnya salah. Anggapanku nyatanya salah. Hingga hari ini, kuputuskan berkaca. Aku melihat seorang perempuan dengan mimik putus asa.

Seorang perempuan dengan mimik putus asa itu terlihat sangat kelelahan. Sedetik kemudian, ia membuka mulutnya; bercerita.
"Berjuang dan bertahan di sisinya ternyata adalah sebuah keputusan yang salah. Kali pertama, telah ia katakan bahwa aku sudah bukan lagi satu-satunya yang ia cinta. Ia katakan sebagai jawaban atas pertanyaan 'kita ini apa?'. Aku paham maksud dari jawabannya. Namun, aku terus saja berjuang. Naif, memang. Prinsipku adalah tidak akan melepaskan sebelum aku benar-benar mencapai titik kulminasi lelahku untuk mempertahankan cinta yang kucintai. Akan kuperjuangkan ia dengan sebaik-baiknya berjuang meski hanya dalam tulisan. Aku yakin suatu waktu ia akan luluh. Suatu waktu, aku dan ia akan kembali bersama. Aku juga tahu, bahwa masih ada sisa perasaannya untukku. Meski sedikit. Ya, aku tahu diri. Segalanya takkan sebesar dulu. Aku pernah memberinya luka begitu besar, tetapi sebenarnya aku juga sama terlukanya ketika ia katakan bahwa aku bukan lagi sebagai satu-satunya yang ingin ia bersamai. Aku ingin berjuang membawa perasaannya yang sedikit itu, hingga kembali tumbuh menjadi sebesar dulu. Aku ingin kami 
berdua berjuang bersama mengobati luka di masing-masing hati kami. Ia mengobatiku, dan aku mengobatinya. Waktu berlalu, kami kembali bercakap seperti biasanya, dengan sedikit candaan tentang perasaan. Kupikir, itu sudah lebih dari cukup, dan aku sudah harus bertanya lagi kepastian tentang kami. Namun, yang terjadi ketika kutanyakan padanya perihal apakah aku harus tetap tinggal atau pergi saja, ia lebih memilih membawa kabar buruk. Luka yang pernah kutoreh padanya sudah bukan lagi lukanya yang paling luka. Itu adalah kali kedua dari jawaban atas pertanyaan yang sama. Artinya, aku bukan lagi cintanya yang paling cinta. Meskipun telah kupersiapkan hatiku, aku sedikit merasa kecewa. Segala yang terjadi dalam rentang waktu itu, tidak ada apa-apanya baginya. Tidak ada. Aku kecewa pada bagian yang itu. Dan aku tak bisa apa-apa selain mengucapkan selamat tinggal."

Ia bercerita panjang, terlalu panjang. Dan aku hanya bisa bertanya satu hal.
"Lantas apa kau sudah benar-benar berhenti?"
"Ia yang menghentikanku"
"Berhentilah!"
"Aku tahu itu. Tidak akan ada yang berubah, meski aku berjuang hingga darahku kering"
"Kau sudah tahu jawabannya."

Perempuan itu kemudian menghilang. Aku mengetuk-ngetuk kaca pada cermin itu. Ia tak lagi muncul. Aku dan perempuan dalam cermin itu sudah sama-sama memutuskan satu hal; Sudah waktunya berhenti.

Posting Komentar

0 Komentar