Setelah Kemarin

"Perpisahan selalu saja menyakitkan. Selalu. Tapi tidak semua yang menyakitkan itu membuatmu menangis."

Aku ingin bercerita sedikit, Tuan. Perihal kemarin. Setelah kemarin mengucapkan selamat tinggal, kupikir setelahnya aku akan menangis seharian. Nyatanya tak demikian.

Aku tak naif. Aku tak akan naif dalam menulis. Meski tak terpungkiri, sangat disayangkan kau tak memberiku izin merawat lukamu, maksudku untuk luka yang pernah kutorehkan sendiri, aku tidak menangis. Sesuatu yang sangat disayangkan itu, aku tidak menangis.

Aku mencari jawabannya, namun yang kutemukan hanya "apakah karena sudah terbiasa?", "apakah karena perasaanku sudah tidak lagi seperti dulu?", "apakah karena nuraniku mengatakan bahwa ini adalah jalan yang sudah seharusnya?", atau "apakah karena aku sudah merasa lega?". Selalu sulit menentukan jawaban yang tepat ketika banyak pertanyaan liar yang muncul di kepala. Tapi, Tuan, bukankah demikian banyak pertanyaan yang muncul di kepala adalah kemungkinan terbesar? Hati merasakannya, itulah mengapa kepala memikirkannya. Maksudku, aku memikirkannya karena memang benar bahwa aku memikirkannya. Ah, sulit menjelaskan, tetapi mungkin kau paham maksudku.

Sudah pernah kukatakan bahwa aku sudah menyiapkan hatiku, kan? Itulah mengapa kemarin aku berani menanyakannya. Hey, Tuan! Memang benar, aku sering memerban lukaku agar orang lain tak memerhatikan, tetapi kali ini lukaku sungguh tak sebanyak itu untuk disembunyikan. Orang-orang takkan mampu melihat sesuatu yang sebegini mikro. Luka sekecil ini akan cepat mengering. Jadi, Tuan, mari kita bersikap biasa saja dan mulai menghapuskan Tuan dan Nona dari kita. Baiklah, aku akan memanggilmu Tuan untuk yang terakhir kali. Mari saling berdamai dengan masa lalu, kuharap tanpa banyak usaha, luka dariku yang katamu lebih kecil dari luka olehnya cepat mengering. Di masa depan, mari kita saling menyalami dan menanya kabar tanpa luka dan dengan masing-masing tangan kita digenggam oleh orang yang tepat, Tuan.

Posting Komentar

0 Komentar