Bertahan atau Melepaskan

"Tak ada perpisahan yang benar-benar sebagai perpisahan tanpa ucapan 'selamat tinggal'."

Telah kali kesekian. Ratusan kali. Ribuan kali. Ah, terlalu klise. Telah puluhan kali, aku telah membulatkan tekad untuk pergi. Pada setiap waktu itu, tidak ada yang lebih pedih daripada harus tersenyum meski hati meraung ingin menangis --- bahkan di depanmu sekalipun.

Jika aku menangis di depanmu, maka apakah kau akan menanyakan keadaanku? Apakah interogatif 'apa kau baik-baik saja?' akan keluar dari bibirmu? Tapi, Tuan, sebenarnya ini bukan tentang apakah kau bertanya atau tidak, ini tentang apakah dalam hatimu kau benar-benar khawatir; apa kau benar-benar tak ingin aku terluka.

Tuan, pernah sekali waktu di depanmu ingin kukatakan segalanya. Tentang mengapa aku harus menulis setiap kali merasa terluka karenamu. Tentang mengapa aku kadang memaksakan diri tertawa ketika orang-orang di sekeliling kita membuat lelucon. Tentang bagaimana setiap kedekatanmu dengan orang lain menjelma sebuah pisau yang dengan bedebah mengiris ulu hati. Tuan, kupikir hati memang letaknya lebih baik di dalam tubuh, sebab ketika ia merasa pilu-ngilu, teriris, terluka, ia takkan nampak; setiap orang masih bisa tetap terlihat baik-baik saja meski perban dan plaster luka telah menutup hampir seluruh permukaan hatinya. Ia masih bisa tersenyum --- berpura-pura, setidaknya.

Telah terluka banyak, dan bodohnya aku masih bertahan. Telah terlalu lama mengenalmu, dan aku masih belum paham kamu. Tidak inginmu, tidak isi kepalamu, tidak semuanya. Aku harus paham seluruhmu agar tahu harus berlaku seperti apa kepadamu. Agar tahu, apakah harus bertahan, diam, atau beranjak. Kupikir inilah poin utama yang kita lupakan, Tuan.

Tuan, telah beberapa kali kukatakan ingin pergi dan kau tak menahan. Entah karena kau memberiku waktu untuk berpikir, entah memang ingin aku pergi, entah. Selalu jadi rahasia antara kamu, hatimu, dan isi kepalamu. Kita berjalan di tempat, tetapi jika kau berpikir aku ingin sebuah status, bukan itu yang kutunggu, Tuan. Sama sekali bukan itu. Bedebah perihal status, aku tak butuh. Aku hanya ingin mendengar jawaban atas dua pilihan; menunggu atau meninggalkan. Jangan lagi menahan diri, Tuan! Ini bukan lagi tentang meninggikan harga diri, bukan lagi tentang memberi batasan pada ego, juga bukan lagi tentang membunuh bisikan hati kecil.

Jika aku harus menunggu, tolong beritahu aku harus bersikap seperti apa. Aku memang sebegini berbelitnya, Tuan. Aku hanya takut menghabiskan satu-satunya harta berhargaku; waktu. Dan jikapun kau memilih bagian kedua, aku akan pergi. Telah kupersiapkan hatiku sebelum menulis ini. Dengan baik-baik, dengan penuh kemantapan. Jika aku harus pergi, maka akan kuucapkan selamat tinggalku yang terakhir, pada perasaanku sendiri, pada perasaanmu, pada nuranimu, pada waktu kita yang terbuang. Sebab bagiku, tak ada perpisahan yang benar-benar perpisahan tanpa sebuah ucapan selamat tinggal.

Posting Komentar

0 Komentar