Tentangmu yang Tentang Aku

Pernah mencintaimu sebanyak yang kubisa, dengan versi terbaik yang menurutku sudah lebih dari kadar yang terbaik. Aku pernah menyukai segalamu yang bahkan terlihat aneh di mata orang lain. Aku pernah begitu jatuh cinta dengan lebihmu yang memabukkan. Aku pernah seperti itu. Aku pernah. Kau tak pernah sadar, kan?

Kau tak tahu, aku pernah menjadi seseorang yang merasa punya waktu berpuluh kali lipat dari waktu yang dimiliki orang-orang di sekitarku. Menunggu kabarmu, menyengajakan diri untuk tidak memasang lockscreen pada layar ponselku, agar ketika pesan atau panggilanmu datang kau tak perlu menunggu, menghabiskan banyak waktu untukku menjawab panggilan atau membalas pesanmu; seperti aku. Sebab aku paham seberapa menyesakkannya susunan-susunan morfem terkutuk bernama 'menunggu'

Kau tak tahu, aku pernah menjadi seseorang yang begitu naif. Berusaha membohongi diri sendiri dan berlari menjauh dari kenyataan. Aku percaya bahwa di hatimu tidak ada penghuni lain selain aku. Percaya bahwa, kau hanya menitipkan satu-satunya kuncimu padaku. Nyatanya, kau punya lebih dari satu. Nyatanya, bukan hanya aku yang mengantongi kuncinya. Aku kelabakan, di hatimu bahkan hanya kau beri ruang yang begitu sempit. Lantas harus bagaimana agar berbagi tempat? Kurasa meski sedikit peka, aku juga memang sedikit naif. Aku tak ingin bertandang ke hati siapapun kecuali menetap pada milikmu.

Kau tak tahu, aku pernah menjadi seseorang yang begitu bodoh. Bertemu kau, aku banyak menatapmu, untuk menyimpan banyak gambarmu di kepalaku. Aku menggambarkanmu dalam imajiku, di mimpiku. Mengilustrasikan kontur wajahmu sebelum terlelap. Bercerita tentang segalamu di depan teman-temanku, berbangga diri bahwa aku punya kamu yang berharga. Di kamu, aku tak demikian. Bertemu aku, kau tak banyak menatapku. Sebelum tidurmu, aku tak pernah hadir di kepalamu. Namaku adalah nama orang asing untuk kau lafalkan di antara teman-temanmu. Perbedaan tulus dan bodoh memang hanya setipis kulit bawang.

Kau tak tahu, aku pernah menjadi pendoa paling tabah. Di atas sajadahku, kusebut namamu sebagai teman hidup yang ditakdirkan untukku. Di atas sajadahmu, kau sebut nama yang lain, yang bukan aku, sebagai teman hidupmu. Coba lihatlah, perbedaan antara tulus, naif, dan bodoh sekali lagi kutegaskan memang hanya setipis kulit bawang!

Kau tak tahu, terkadang aku pernah menuliskan tentangmu dengan nama yang bertopeng. Dengan nama orang lain, aku menulis tentangmu. Kau tak pernah menyadarinya, kan? Aku menunggu kau mengomentari tulisan itu, nyatanya tak pernah ada. Kau bahkan mungkin tak pernah membacanya. Atau apakah aku yang terlalu bersembunyi?

Lihatlah! Kau tak tahu banyak hal tentangku yang berisi tentangmu, kan?

Posting Komentar

0 Komentar