15 Oktober lalu..
Masihkah kau mengingatnya? Kala itu kaki-kaki luka kembali
menapak pada sekeliling hati kita. Kala itu aku seolah terbujur kaku; mati.
Kala itu aku seolah menjadi orang yang paling bodoh menenangkan amarahmu. Kala
itu, detakan jantungku terus mengutuki diriku sendiri. Kala itu tiap tarikan
napasku seolah berhembus dengan mengucap kata ‘bodoh’
Sebulan telah lewat..
Saat canda pekat kita mulai menyirna dengan sigap; tanpa
jeda; tanpa memberiku izin untuk menarik lengannya, menahannya agar tak
benar-benar beranjak.
Sebulan telah lewat..
Sekali lagi, masihkah kau mengingatnya? Kamu terlihat begitu
cemburu ketika aku bercerita mengenai seseorang yang bukan kamu. Dan bolehkah
kutanyakan? Apakah wujud cemburu dalam persepsiku adalah bahwa kamu benar-benar
mencintai saya?
Sudah tepatkah itu?
Sudah tepatkah itu?
Entah karena apa, akhir-akhir ini aku mulai sedikit melupa tentangmu. Tapi bukan berarti bahwa aku adalah pelupa yang baik. Yang ketika ingin melupa akan benar-benar melupa seutuhnya; tak mungkin.
Sebulan telah berlalu..
Saat bibir ku telah berpuluh-puluh kali mengucap maaf, namun
hanya mendapat pengabaian. Aku hanya mendapati sikap acuh tak acuhmu. Aku hanya
menemui sikap ketidakpedulianmu. Menyakitkan, bukan? Tapi tenang saja, aku
sudah cukup terbiasa dan terlatih diabaikan; terutama olehmu.
Sebulan telah berlalu..
Saat terakhir kau katakan bahwa aku tak cukup peka. Aku peka,
aku cukup peka, aku menyadari adanya rasamu. Namun tahukah kau? Bahwa
sesungguhnya yang membuatku seperti ini adalah ketidakpedulianmu.
Jadi, maafkan aku Tuan. Semua ingin kucukupkan di sini saja.
Aku mencintaimu..
Sayangnya itu dulu. Sebatas dulu saja.
Hanya ketika aku menjadi satu-satunya orang yang akan kau
kirimkan pesan tengah malam. Hanya ketika kita masih sehangat dulu.
Dan kini..
Maafkan aku.
Cintaku butuh hati utuh, tanpa wujud mozaik.
0 Komentar