Sadarilah Ini, Tuan!

Sudah semalam ini, saya masih saja terjaga. Tepat malam tahun baru islam 1435 H. Begitu banyak harapan yang ingin kuhaturkan kepada-Nya. Namun kurasa aku tak perlu menuturkan segala keinginan itu, kurasa hanya cukup untuk apa yang kubutuhkan saja. Tuhan, aku butuh rasa damai, dimanapun itu, tentram dan damaikanlah hidup dan hatiku, keluarga titipan-Mu, teman dan sahabat yang Engkau kirimkan kepadaku. Jadikanlah hidup hamba menjadi hidup terbaik ditahun ini dalam segala urusan pendidikan, ataupun keseharian hamba, Rabb. Dan hal yang kubutuhkan terakhir Tuhan, bisakah Engkau melunturkan ingatan dan perasaanku terhadapnya? Ia yang telah lekat-lekat tinggal dalam dua tempat yang saling berikatan dalam tubuhku. Jangan biarkan aku mencintainya lebih dari mencintai-Mu, Rabb. Dan kurasa Engkau lebih tahu, seberapa berdarah-darahnya hatiku karena ditelantarkan olehnya. آمِّينَ يَ رَ بَّلْ عَلَمِيّنْ

Malam ini, kamu kembali menjadi alasanku untuk tak membenamkan kepala di bantal empuk yang tergeletak hampa di atas spring bed. Bantal, nanti saja yah, aku sedang ingin merayakan perih (yang semoga adalah perih) terakhirku ini. Aku telah enggan membasahi dan menjadikanmu korban atas kecengengan saya, atas kekurangtabahan saya. Kamu pasti kebingungan. Aku memang seperti ini, membiarkan hatiku tersayat hingga berdarah-darah, hingga akhirnya membiarkan air mata menggenang di pelupuk mataku.

Rasanya ingin memukuli dadamu hingga puas, kekesalanku mulai mencapai titik kulminasinya. Tapi kau tahu, keinginan saat tak bersamamu selalu saja berbeda ketika kita telah dipertemukan. Di depanmu, aku selalu diam, seolah mulutku terkunci rapat-rapat, di depanmu aku selalu berusaha menjaga perasaanmu. Namun, foto itu.. Foto itu adalah sebuah ketidaksengajaan. Foto baju kenangannya. Tapi mengapa tak kamu coba untuk mengerti sedikit saja? Bahwa foto hanyalah tetap foto saja. Tak semua yang seseorang bahas mengenai masa lalunya berarti ingin kembali dan masih mencintai masa lalunya. Tak berarti, Tuan.

Entahlah, saya sudah cukup lelah menjelaskan semuanya. Kamu terlalu menulikan telingamu untuk mendengar semuanya, kamu terlalu membutakan matamu untuk mencoba melihat dengan lebih jeli arti semuanya, begitupula hati dan otakmu, kamu mematifungsikan seluruhnya, hingga yang ada hanya egomu saja. Hanya egomu saja. Tahukah seperti apa rasanya meminta maaf berkali-kali, berpuluh-puluh kali namun tak ditanggapi sama sekali? Inginmu untuk mengerti saja tak ada, apalagi untuk mengerti. Sadarkah, bahwa ketika kau mulai diam seperti ini, tanpa sengaja kau juga menciptkan ngilu dan nyeri yang bersamaan di dadaku; sesak. Jadi tolong, pahamilah! Bahwa bukan hanya kamu saja yang terluka, tapi aku juga.

Ada banyak kamu di dalam sel otak saya, bolehkah kuambil satu? Satu saja! Untuk menemaniku. Meski hanya sebuah ilusi, dan harapan kosong; pedih. Aku menulis ini, bukan karena mengharapkanmu kembali. Lebih tepatnya aku mengharapkan maafmu, itu saja sudah cukup. Meski itu artinya, bahwa mimpi-mimpi yang pernah kita bahas dalam percakapan tengah malam kita harus diobak-abrik, dihancurkan; dibakar. Dan kita tak akan lagi bisa menjadi ada.

Sebenarnya aku benci keadaan ini, tak saling berbicara, tak lagi ada canda pekat, dan tak lagi mampu membaca namamu muncul di layar handphoneku. Maafkan aku, tapi aku harus mengatakan. Bahwa kamu begitu egois, hanya memikirkan perasaanmu saja, terlalu egois, hingga aku tenggelam dan mati dalam keegoisanmu. Kamu, orang yang paling harus diikuti inginnya, sedang kamu tak tahu sisi negatifnya terhadap orang lain. Cemburumu yang berlebihan tak seharusnya kau kerahkan. Bersikaplah biasa saja, seperti aku yang selalu mencoba menenangkan diri ketika mendapati sesuatu yang berbau kamu yang dituliskan oleh masa lalumu. Bukankah aku tak pernah menuntutmu ini itu? Bebaskanlah dirimu, selagi yang (dulu) kau ingini adalah aku. Seharusnya kamupun begitu, kan? Percayalah bahwa apapun yang berbau dia takkan pernah merubah rasaku untukmu. Namun semua menjadi terlambat untuk kita.

Semoga saja, Tuan. Ini bisa menjadi sebuah kebaikan untukmu kedepannya. Untuk penggantiku di hatimu yang entah kapan datangnya. Berhentilah memikirkan perasaanmu sendiri saja, pikirkan pula ia yang mencintaimu. Berhentilah menampakkan sikap ketidakjelasanmu. Yang hari ini berkata bahwa kamu benar-benar mencinta, lalu esok hari pergi entah kemana. Membuat orang-orang melambung dengan tinggi, lalu menghempaskannya keras-keras. Tak tahukah? Itu membuat remuk. Maafkan jika kejujuranku membuatmu ngilu, tapi ini harus. Kurasa kita sama-sama sudah bukan anak kecil lagi. Cukup memahami diri, orang lain, dengan sikap bijaksana. Mulailah bersikap dewasa.

Aku telah merapalkan maaf sedalam, sebanyak, dan sesabar yang kumampu. Urusan kamu akan memaafkan atau tidak, itu urusan kamu, kan?

Lalu, urusan kita berjodoh atau tidaknya itu adalah milik Sang Maha Cinta. Karena aku terlalu sering menyebut deret huruf namamu dalam tengadah tanganku. Dan kurasa aku harus bisa bersikap dewasa jika kiranya kita bukan takdir-Nya. Bukankah dewasa berarti rela melepaskan dan mengikhlaskan. Dan kita harus seperti itu, tanpa dendam, benci, amarah, ego; dewasa.

Untukmu, Tuan..
Yang tempatnya takkan pernah ada yang mengganti, tetap saja di sana. Karena yang baru, akan menempati tempat yang lain, dan takkan pernah menjadi kamu.
Terima kasih untuk semua untaian kata yang pernah membuatku lupa dan melambung tinggi. Aku mencintaimu, dan akan mulai melupakanmu.

Posting Komentar

0 Komentar