Aku yang Selalu Asing

"Jika bahkan aku sudah di depanmu, namun pikiranmu masih seluruhnya ada padanya, maka sudah waktunya aku pergi."

Aku tahu ini adalah keputusan paling tepat. Sebuah keputusan yang entah mengapa menjadi keputusan yang berulang. Kali ini, sepertinya lebih nyeri. Sekali pun kubuka lagi pintuku, tak ada yang akan berubah.

Aku tak tahu sejak kapan nyeri menjadi 
sebegini melukaiku. Kutebak, mungkin sebab pernah terluka atas perkara yang sama, juga dengan orang yang sama. Aku, kamu, dan ia.
Jika hanya sekali, aku akan bertahan. Cintaku mampu memaafkanmu berkali-kali untuk satu kesalahan yang tidak berulang---untuk setiap kesalahan yang berbeda. Namun, jika satu kesalahan terjadi berulang dan aku tetap bertahan, maka akulah pecinta paling bebal.

Ah, biar kuralat. Kau tidak pernah meminta maaf, itulah mengapa aneh jika kutuliskan "memaafkanmu". Kau tidak pernah merasa salah. Bagimu bukan kesalahan jika ada orang lain di dalam kita. Menurutmu, ia hanya teman bagimu. Tetapi teman tidak sedekat itu. Kau melangkahi garis. Kau melewati batas.

Lalu, sebuah garis cerita realita pada hari itu membuatku sadar. Aku yang bahkan ada di depanmu tidak ada apa-apanya. Aku yang ada di depanmu tak cukup bagimu. Aku sebenarnya tak penting bagimu---meski saat itu, aku tengah berjibaku dengan ritme debar dadaku agar tak menjadi salah tingkah di depan orang-orang penting dalam hidupmu.

Hari itu, aku berada tepat di depanmu. Namun, kau ingin pergi ke tempat ia berada. Sama seperti dulu. Ketika aku yang membersamaimu, tetapi kau seterlalu akrab itu dengannya. Sama seperti dulu, saat aku diam-diam menangis membaca percakapan hangat antara kau dengannya dalam kolom komentar itu. Sama seperti dulu, saat aku merasa benar-benar sebagai orang asing bagimu.

Posting Komentar

0 Komentar