Pulang yang Pergi

Aku sudah pernah berjanji untuk kembali padamu. Sudah kujanjikan pada diriku untuk pulang padamu tepat waktu. Tetapi sepertinya, aku akan pulang terlambat. Aku tersesat. Aku ragu mengenali jalan pulang yang tepat menuju rumah kita.

Kala kupamitkan diri untuk berangkat mencari obat penyembuh lukamu, gang-gang kecil menuju rumah kita masih lengang dan terlalu sepi. Tidak kutemukan apa-apa dan siapa-siapa di sini. Jalanan bersih, seperti tidak ada yang pernah berjalan melewatinya selain kita berdua.

Setelah aku berjalan pulang, setelah kutemukan obat yang tepat, gang-gang kecil itu menjadi padat. Berserakan banyak hati di sepanjangnya. Beberapa hati terlihat patah, beberapanya lagi masih baru. Gang-gang kecil ini, sama sekali tidak terlihat seperti semula. Hingga aku merasa bahwa aku salah mengambil rute perjalananku menuju rumah kita. Aku merasa aku tersesat di jalan yang aku sendiri menghafalnya di luar kepala.

Kutelusuri seluruh gang kecil di sekitar rumah kita, berkali-kali, mencari rute lain menuju rumah kita, hingga kaki-kakiku terasa akan terlepas dari tubuhku. Aku kelelahan. Usahaku nihil. Tidak ada jalan pulang yang kutemukan. Akhirnya, kuberanikan diri kembali kepada rute perjalanan awalku. Kuterobos semua hati yang bersebaran itu.

Di dalam rumah kita, kutemukan kamu dan luka-lukamu yang telah diperban. Kutemukan juga hati-hati yang lain masih di sana menggenggam plaster luka dan segulung kasa putih. Saat mereka melihatku, mereka tak seinci pun beranjak. Seseorang menahan tangannya dan sungguh betapa buruk, seseorang itu adalah kamu.

Kuperhatikan lagi luka-lukamu, mereka hanya membungkusnya. Mereka belum mensterilkannya, juga mereka belum mengolesinya dengan salep antibiotik. Tetapi kini, meski aku tahu mereka belum merawat lukamu dengan baik, aku tidak mampu menggerakkan kakiku menujumu. Kusalahkan diriku berkali-kali, menerka-nerka; apakah aku pergi terlalu lama?

Aku kini ragu menujumu. Keraguanku beranak-pinak menjadi banyak tanya.
"Apakah kamu masih membutuhkanku?"
"Apakah kamu akan membiarkanku merawat lagi lukamu, sementara sudah banyak hati yang memerbannya?"
"Apakah kamu masih menantikanku?"
"Apakah aku sudah harus pergi dan mengemasi kenangan-kenangan kita?"

Lalu, pertanyaan terakhir.
"Apakah sungguh lagi-lagi kamu tidak ingin mempertahankanku?"

Posting Komentar

0 Komentar