Kau dan Surat Rindu

Ada yang terus-menerus mengetuk pintuku akhir-akhir ini. Setiap kali kubuka pintuku, sebuah surat jatuh dari celah pintu dan kusen. Surat-surat yang sama, warna amplop yang sama, dan isi yang sama.
"Aku merindukanmu", katamu.

Apakah kau masih merasa berhak merindukanku? Dulu, kau yang pergi dan tidak berkabar lagi. Aku menunggu kabarmu, mencari kabarmu, menunggu lagi, mencari lagi, menunggu lagi, hingga akhirnya kuputuskan merelakanmu. Sebab kau tidak lagi kutemukan pada tempat yang pernah ada kita. Kau membiarkan dirimu hilang dariku.

Katamu, kau merindukanku? Omong kosong. Kau dan rindumu adalah omong kosong yang paling mampu membuatku tertawa terbahak-bahak hingga mengeluarkan air mata. Bukankah katamu, kau ingin bersama cinta yang lebih besar daripada yang aku miliki untukmu? Jika benar cintanya lebih besar, lantas mengapa kau merindukanku?

Setiap kali rindumu kubaca, aku ingin membalas suratmu. Tetapi kutahan diriku kuat-kuat. Apa yang kau tanam, harus kau tuai sendiri. Sebab itulah hidup yang seharusnya. Tidak, aku bukan ingin balas menyakitimu, aku hanya ingin kau belajar satu hal; keputusan yang terlalu emosional selalu membuahkan penyesalan.

Kau bisa berhenti mengirimiku surat sekarang, atau jika kau gigih, kau boleh melanjutkan. Bisa saja, suatu waktu aku goyah lalu kembali membuka pintuku bukan hanya untuk suratmu.

Posting Komentar

0 Komentar