Bertemumu Sore Ini

Selamat sore, Kak.
Tepat setelah melihatmu sore tadi, aku langsung menuliskan ini. Alasannya tak bisa kujelaskan. Hanya saja, aku berdebar begitu keras melihatmu. Jemariku gugup kedinginan.

Lama sekali tak bersua sapa denganmu, Kak. Dua tahun yang lalu? Tiga tahun yang lalu? Iya, sepertinya tiga tahun yang lalu, bahkan lebih dari itu.

Hari ini, takdir membawaku menujumu. Setelah sekian lama, kita bertemu. Kita tak banyak bercakap, Kak. Aku bahkan hampir tidak mengenalimu. Kamu pun juga demikian. Kamu terlihat semakin rupawan, Kak. Namun, jauh lebih dari itu, kamu masih kamu, Kak, dengan wajah teduh yang meneduhkan.

Kukuburkan perasaanku tiga tahun yang lalu. Mengagumimu, bahkan aku sempat berharap agar kamu sebagai lelaki terakhir yang bersamaku hingga tutup usia nanti, hingga kita dipersatukan lagi dalam rumah kita di surga yang kita bangun bersama kelak.

Kak, aku tahu bahwa tulisanku ini mungkin tidak akan dijerat oleh sepasang matamu. Kamu mungkin tidak akan membacanya, tetapi aku tetap ingin menuliskannya, Kak.

Bertemumu sore ini, jantungku berdebar keras. Otakku berupaya keras membangkitkan lagi perasaan yang sengaja sudah kututup rapat-rapat. Sebab aku tahu, perasaanku hanya akan berakhir menjadi perasaanku saja. Padamu, aku tak berani terang-terangan menunjukkan perasaanku. Kamu adalah lelaki yang sulit kugapai, bahkan meski aku berbenah diri mati-matian.

Kak, kamu tahu? Kadang jika aku mencapai titik kulminasi merisaukan perasaanku, aku membuka kembali sebuah folder yang berisi banyak percakapan kita di dalamnya. Aku kadang menyesali diri, Kak. Mengapa kita harus sempat menjadi sepasang manusia yang bertukar cakap dengan satu pemikiran yang sama? Mengapa kita sempat menjadi sepasang manusia yang sempat dekat lalu kau mengajarkanku menuju hal-hal yang baik? Tetapi entah, aku bertanya, tetapi aku sama sekali tak menyesal meski setelahnya mati-matian kuupayakan perasaanku agar tidak menjadi lebih besar dari semestinya.

Kak, meski kita sempat hidup di masa lalu dengan satu kenangan yang sama, aku tak menyesalinya. Satu-satunya hal yang paling tidak kusesali dalam hidupku adalah karena aku pernah mengagumimu. Kamu adalah lelaki yang paling pantas dikagumi, Kak. Olehnya, aku sama sekali tak menyesal. Sama sekali.

Tetapi hari ini, kamu sepertinya harus bertanggung jawab, Kak! Kamu membuatku berdegup, membuat paru-paruku kembang kempis, membuat jariku dingin beku hanya karena melihatmu, hanya karena melihat senyummu dibagian akhir pertemuan kita sore ini. Kak, tolong senyummu sedikit direparasi! Aku takut jika hanya karena degupan jantung yang tak bisa kukendalikan ini, hanya karena senyummu itu, perasaanku kembali, dan aku harus mati-matian melupakanmu lagi. Seperti dulu, tiga tahun lalu.

Kak, sebenarnya aku menunggumu cukup lama sebelum pulang tadi. Aku berharap bisa melihat senyummu yang teduh sekali lagi. Aku hanya takut tidak bisa melihatmu lagi setelah ini. Tetapi, urusanmu sepertinya harus diselesaikan lebih lama dari perkiraanku, dan mau tidak mau, aku harus pergi tanpa melihatmu lagi.

Semoga akan ada waktu ketika aku bisa melihatmu lagi. Aku berharap hanya aku yang melihatmu, sebab jika tidak, aku tidak bisa menjamin ingin hatiku, Kak. Kamu bisa membantuku dengan pura-pura tidak melihatku saja. Biarkan saja hanya aku yang memandangimu, Kak. Kurasa itu akan lebih aman bagi kesehatan hatiku, Kak.

Dari aku,
Adik yang perasaannya tidak pernah sampai padamu.

Posting Komentar

0 Komentar