Hujan Pertama Dibulan Oktober

Selamat datang hujan pertama dibulan Oktober. Aku telah lama menunggumu. Pada setiap mendung yang merajai langit, aku menunggumu. Berharap kau datang bersamanya. Meskipun adalah sebuah pinta yang berlebihan, meskipun adalah sesuatu yang tak mungkin terjadi, meskipun adalah penantian yang sia-sia, bahkan meskipun habis waktuku menunggumu datang membawanya, aku akan tetap menunggu.

Hujan pertama dibulan Oktober. Aku selalu suka hujan dibulan Oktober. Ia dan kenangan di dalamnya. Hujan dan lelaki berjaket putih kotak-kotak. Aku menanti keduanya. Pada waktu yang sama, pada tempat yang sama.

Hujan pertama dibulan Oktober selalu mengundangku merangkak ke depan jendela rumah. Membawa mantel dan secangkir coklat hangat. Mengandai-andaikan jika saja kau datang lagi, berteduh di teras rumahku. Mengharap-harap kau adalah salah satu dari mereka yang berlalu lalang mengendarai sepeda motor di jalanan.

Hujan pertama dibulan Oktober kali ini aku kembali menjadi aku yang bertahun-tahun lalu. Tak kulewatkan tahun tanpa berharap kedatanganmu. Sebab, aku menyesali awal kedatanganmu. Ah, tidak! Maksudku, aku menyesali hubungan kita pada datangmu yang pertama kali. Aku dengannya, dan kau dengan yang lain.

Hujan pertama dibulan Oktober kali ini, aku hanya menantimu saja. Dengan hati yang hanya terisi olehmu. Dengan kepala yang menggemakan namamu. Juga dengan sepasang mata yang terus menatap ke arah jalan, mencari-cari sosok kamu di sana. Jika hari ini kau tak datang, tak masalah. Aku akan menunggumu esok, esok, esok, esok, esok, esok, dan esoknya lagi. Hingga hujan berganti menjadi terik, hingga musim berganti. Jika tahun ini, kau tak datang, tak masalah. Aku akan menunggumu tahun depan, tahun depan, tahun depan, tahun depan, tahun depan, hingga tahun depannya lagi. Kau tahukan, aku adalah perempuan yang paling sabar perihal menunggu, terlebih jika itu adalah kamu.

Hujan pertama dibulan Oktober, aku merapal doa seraya bulir air hujan mengetuk jendela depan rumahku. Agar hujan yang datang akan membawamu ke sini. Agar mantel dan segelas coklat hangat yang kusiapkan tak menjadi percuma. Aku menegadahkan tangan, meminta kau datang mengetuk pintu rumahku menggantikan hujan. Sebelum mantel yang kusiapkan menjadi kaku, sebelum segelas coklat hangat tak menjadi beku, juga sebelum aku menggigil hingga mati terpaku.

Aku 'kan menunggumu, hingga habis masanya hujan menjatuhkan diri.

Posting Komentar

0 Komentar