Selamat Hari Raya Kurban, Ayah

Hai Ayah. Aku tahu bahwa di hari Kurban kemarin  Ayah berada di rumah. Menyaksikan keluarga besar Ayah. Ayah, apa Ayah tahu? Rasanya ingin sekali memeluk Ayah. Mencium tanganmu, memohon ampun atas semua khilaf yang aku lakukan.

Ayah, lihatkan? Bahwa kemarin, setiap tamu yang datang menyebut nama Ayah. Ini adalah tahun pertama berlebaran tanpa Ayah. Di hari raya Kurban, Ayah pasti selalu sibuk membantu orang-orang berkurban. Iya, Ayah. Ayah patut berbangga karena hal itu. Karena Ayah adalah sosok yang paling terkenal dalam bidangnya. Dan iya, aku juga benar-benar bersyukur karena dikenal banyak orang dengan hanya menyebut nama Ayah, sama seperti ketika menyebut nama Ibu di depan orang lain. Mereka tanpa berpikir dua kali, tanpa tanya langsung mengenal kalian.

Ayah, bolehkah anakmu ini bercerita sedikit? Sebenarnya meski banyak senyum, meski menebar senyum pada setiap orang, hati anak Ayah ini penuh lebam. Salah satu luka yang paling besar yang aku punya adalah luka karena merindukan Ayah. Di umur segini, kata orang adalah umur emas. Sayangnya, aku tak punya Ayah di sisiku. Jika ada satu hal yang harus kulakukan untuk membuat Ayah hidup kembali, maka katakanlah, Ayah. Aku ingin sekali melakukannya, semampuku, sekuatku, sebisaku.

Baiklah, Ayah. Aku takkan membuatmu sedih dengan tulisanku yang melantur. Akan kubuat kau tersenyum dengan doa-doa seusai sembah sujudku. Akan kurapalkan banyak pengampunan untukmu, akan kurapalan pengharapan agar kau berbahagia di sana. Berbahagialah, Ayah. Aku (akan) baik-baik saja.

Selamat hari raya Kurban, Ayah tersayang. Aku merindukan engkau.

Posting Komentar

0 Komentar