Berlarilah Sebisamu, Tuan!

Kupasrahkan diriku, logikaku kalah. Hatiku selalu menang pada segala hal yang menyangkut kamu. Aku berbalik, dan tak lagi kulihat punggungmu.

Aku sebenarnya benci melihat punggung orang lain yang berjalan menjauh, itulah mengapa kuputuskan untuk berlalu lebih dulu. Kutitipkan sebuah maaf karena tak menemanimu hingga akhir. 

Tapi setelah sekian lama menyatakan untuk menyudahi kita, setelah aku lebih dulu membuatmu menyaksikan punggungku yang semakin jauh, aku menghentikan langkahku. Kutahan kuat-kuat hatiku, kusemangatkan logikaku agar tak berbalik. Lagi-lagi logikaku kalah. Kali ini aku belajar bahwa perasaan yang teramat dalam memang tak pernah kalah melawan logika. Iya, kini aku berbalik.

Aku kecewa. Di belakangku, tak kutemukan siapa-siapa, tak kutemukan apa-apa. Bahkan binar matamu meluruh dalam ingatanku. Kau sudah tak lagi di sana. Bayanganmu pudar, tapakan langkahmu pun tak berbekas. Aku terluka.

Jika saja kau masih di sana, akan kuputar tubuhku. Akan kucepatkan langkahku kembali menujumu. Akan kurekatkan hatimu yang patah. Kujanjikan satu hal, bahwa meski luka pada hatimu sudah sarat, meski cintamu untukku sudah berkarat, aku akan tetap mendekapmu erat.

Namun, Tuan. Jika kau sudah memutuskan untuk berlari jauh. Aku bisa apa? Setiap manusia punya pilihan atas hidupnya sendiri. Meski kadang aku merindukanmu, meski aku acapkali mencari-cari kabarmu pada linimasa media-media sosial yang mungkin saja akan kau kunjungi. Agar aku tahu kau baik-baik saja, hatimu juga dirimu.

Tak apa, Tuan. Berlarilah sebisamu! Kau tahu, pintuku tak pernah kututup rapat untuk seseorang yang kucintai hingga begitu pekat.

Posting Komentar

0 Komentar