Hari ini, kau datang. Lagi dan lagi. Entah karena apa,
ceritanya berbeda kali ini. Pada kedatanganmu kali ini, pelupuk matamu basah,
matamu sedikit memerah; sembab. Aku tak suka kedatanganmu, ah tidak.. tidak..
maksudku aku tak suka perihal alasan kedatanganmu.
“Tenangkan aku!’ Katamu
Lagi-lagi, kau melafalkan kalimat itu. Kedatanganmu selalu
saja seperti ini. Selalu saja hanya dengan susunan dua belas fonem-fonem yang
sebenarnya aku membencinya, tapi aku tak kuasa menolaknya.
Sejak awal, kupikir biasa saja memberimu sedikit kata-kata
pembangun asamu yang hampir putus. Awalnya aku tak berniat terus melakukannya,
namun melihatmu terus saja seperti ini, rasa empatiku berganti menjadi ‘hal
yang tidak sepantasnya hadir dan tak boleh kau ketahui’. Kupikir biasa saja
menyuguhkanmu sedikit lelucon yang mungkin konyol untuk membuatmu tertawa, tapi
lihatlah! Kau selalu tertawa dengan lelucon (konyol) yang kusuguhkan. Dan
kupikir biasa saja, menemani sepimu dengan bercakap hal-hal yang tak begitu
penting via Blackberry Messenger,
tapi nyatanya percakapan-yang-isinya-adalah-hal-hal-yang-tak-begitu-penting
tersimpan rapi dalam kotak chatku. Ternyata,
tidak semua hal yang terpikirkan biasa saja, benar-benar adalah sesuatu yang
biasa saja.
Hari ini, air matamu meluruh. Aku begitu ingin menyodorkan
sapu tanganku, tapi tertahan. Aku begitu takut terluka sebab empatiku yang
membelok ke arah lain. Aku tak ingin, jika suatu hari nanti aku akan menangis
sesenggukan seperti yang kau lakukan hari ini. Mungkin akan terlihat begitu
kejam bagimu, tapi apakah kau tahu, bahwa sebenarnya aku juga terluka
sepertimu, Lukaku menjadi dua kali lebih menganga lagi, sebab selain tak kuat
melihatmu terluka, aku juga terluka karena telah kalah sebelum berperang. Melihatmu
semenangis ini, itu berarti cintaku sudah kalah. Perasaanmu padanya sudah lebih
dahulu memenangkan diri.
Kali ini aku sudah cukup letih, kau harus melawan perihmu
sendiri, menangislah sendiri. Aku sudah terlalu lama menjadi tempatmu berlari
ketika kau terluka karenanya. Kau terluka karena dia, aku menyembuhkan lukamu,
lalu lukamu yang hilang menusukku, menancap kuat-kuat, berulang-ulang, hingga
sepertinya aku menjadi tempat penimbun lukamu, yang tanpa sadar menikmatinya
dengan cara menjatuhkan hati padamu. Sekarang, bagaimana jika kau beriku
sedikit ruang untuk melangkah mundur; memberi jarak antara kita. Sebab perasaanmu
yang dulu selalu kumahasegalakan, harus kuakhiri. Aku hanya takut jatuh pada
hati yang tidak jatuh, padaku.
0 Komentar