KAKTUS DAN BALON

Di sebuah waktu, hiduplah sebatang kaktus. Ia tumbuh begitu subur; gagah perkasa. Tak lupa ia banggakan duri-duri yang menancap kuat dan tajam di seluruh tubuhnya. Setiap hari, ia tak lupa mengasah tiap-tiap tancapan duri yang melekat padanya. Diasahnya agar lebih tajam, dan lebih menawan dari kaktus di sebelahnya.

Selang beberapa hari, Kaktus dibawa pergi oleh seseorang, dipindahkan lalu diletakannya di sudut taman. Kaktus diletakkan di sudut taman yang tidak begitu sering diperhatikan seseorang. Hari itu, seorang anak kecil yang menenteng Balon berwarna pink di tangannya mendekat ke arahnya. Mengikat ikatan benang Balon ke tangan Kaktus. Katus dan Balon begitu heran. Tiba-tiba anak kecil itu berkata, "Semoga Kaktus ini tidak lagi kesepian".

Waktu berlalu, hari berganti. Detik demi detik yang Kaktus dan Balon miliki terasa begitu berharga. Mereka tersenyum bersama, menyanyi bersama, bermain bersama, melewati terik yang menyilau bersama, menikmati kerlap-kerlip taburan bitang malam, menyaksikan lengkungan senyum bulan, juga saling bergenggaman, meski pada kenyataannya Kaktus hanya menggenggam  benang pengait  dari Balon. Kau tahukan, bahwa kebersamaan, mau tidak mau akan menumbuhkan perasaan? Perasaan yang membuat hampa ketika salah satunya tidak ada atau bahkan menghilang. Dan perasaan bahagia ketika bersama. Kaktus dan Balon, mereka menumbuhkan perasaan itu; mereka jatuh cinta. 


Di malam dengan angin yang menusuk tulang, seperti biasanya mereka menatap rembulan yang sama. Begitu cantik, kali ini tidak dengan senyum, tapi bulat penuh dengan cahayanya yang terang tanpa menyilau.

"Aku ingin sekali membelai wajahmu, menyentuh senyum manismu, membuatmu terus berada di sisiku, dan bahkan lebih dekat lagi. Aku begitu ingin menghapus air matamu, jika saja suatu saat nanti akan ada hal yang membuatmu sedih. Aku juga begitu ingin memelukmu ketika kau kedinginan seperti ini, karena angin malam yang membuat gigil"



Kaktus tiba-tiba membuka mulutnya, mengungkap dengan warna suara yang begitu mengharu biru. Balon terdiam beberapa saat, semenit dua menit kemudian ia menangis, air matanya meleleh, ia terluka sekaligus menggigil. Kaktus membuka lengannya, mengangkat jarinya, Balon menahannya. Ia menggeleng keras, Kaktus menghentikan gerakannya tanda paham. Kali ini, duri tajam melekat di tubuhnya yang selalu ia banggakan, kini ia sesali keberadaannya. Ia kini berandai-andai, bila saja ia tidak dilahirkan sebagai kaktus, iya, seandainya.

"Meski hanya bisa bersuara, meski tak mampu kau hapus air matanya, meski tak bisa kau beri pelukan hangat, kuharap kita tetap bersama. Dekat bukan berarti tanpa sekat. Dan betapa tidak beruntungnya, perasaan kita butuh sekat agar bisa selalu bersama." Lirih Balon dalam hati.





Posting Komentar

0 Komentar