Tuan; Alasan Nyonya Menyukai Petrichor

Hujan, ada bulatan air yang begitu sabar meski dijatuhkan dari langit yang tinggi. Titisan-titisan yang begitu tabah dan pasrah meski dihentakkan keras-keras dari atas sana. Aku mencintainya, mungkin lebih tepatnya kenangan hujan bersamamu.

Apa kau masih ingat? Kita sepasang manusia berdiri di tempat yang sama menyaksikan buliran hujan. Merasakan gigil, terpatri pada hening yang kadang kita ciptakan. Kala itu, kita saling memiliki. Bukan, maksudku kita sama-sama memiliki kekasih yang lain. Kekasihku yang jauh, dan kekasihmu yang (sepertinya) baru saja kau temui saat itu.

Hujan lebat, dan kau diam memohon pada hujan agar ia berhenti menitikkan diri. Entah karena ketidaknyamanan atau perasaan ingin segera mengakhiri pertemuan kita yang lebih sering dipecahkan heningnya oleh sentakan hujan di atas genting dan tanah. Cukup canggung, atau mungkin karena kau sedang kedinginan dibalut jaket putih kotak-kotakmu yang sedang basah karena sempat diguyur hujan.

Beberapa jam berlalu, kita hanya bercakap seadanya saja. Bukankah itu sudah biasa kita lakukan? Kita memang tak banyak berbicara ketika saling bertemu. Akupun seperti itu, bukan karena tak ingin berbicara denganmu, hanya saja kala itu aku sedang sibuk mengatur detak jantungku yang gaduhnya hampir mengalahkan sentakan hujan. Aku sedang menata hatiku yang saat itu harus berperag dengan logika karena masing-masing kita sudah berpemilik. Iya, perasaan itu memang tak seharusnya ada, bukan?

Hujan reda, kau pamit pulang dan aku tetap bersandar pada dinding menyaksikan punggungmu yang semakin jauh. Aku menghirup udara dalam-dalam lalu membuangnya perlahan. Sebagai pertanda sedikit lega karena tak lagi perlu mengatur detak jantungku, juga sedikit sedh karena tahu bahwa butuh waktu yang lama untuk menyaksikanmu lagi. Ada aroma yang begitu membuat hatiku sedikit membaik, aroma ini menenangkanku; Petrichor. Dan setelah itu, untuk alasan apapun, hatiku akan membaik bila menghirup aroma ini. Termasuk ketika terluka karenamu. Ya, kau Tuan. Alasan aku menyukai Petrichor hingga sebegininya.

Posting Komentar

0 Komentar